RPJMD 2025-2029:Banten Adil atau Sekadar Janji?

Bagikan

Oleh: Bung Eko Supriatno-Dosen Universitas Mathlaul Anwar Banten

BUNG EKO SUPRIATNO

Narwala.id- Pembangunan daerah tidak cukup ditopang oleh janji politik atau barisan slogan yang enak didengar. Ia menuntut rancangan yang matang, pelaksanaan yang cermat, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Sebab tantangan utama pembangunan bukan sekadar teknis anggaran atau kelembagaan, tetapi soal keberpihakan, integritas, dan arah kebijakan yang tepat. Di Banten, satu pertanyaan publik kini mengemuka: benarkah kita sedang menuju Banten yang adil, atau justru sedang mengulangi narasi lama yang tidak pernah sampai pada kenyataan?

Di tengah geliat pembahasan dua rancangan peraturan daerah yang strategis penyertaan modal ke PT Bank Banten dan penyusunan RPJMD 2025-2029 kita dihadapkan pada ujian kolektif: apakah pemerintah daerah memiliki visi yang tajam, keberanian yang memadai, dan daya eksekusi yang efektif untuk memikul harapan publik? Keduanya bukan sekadar dokumen normatif, melainkan medan pertarungan antara harapan dan kenyataan. RPJMD, khususnya, bukan hanya kertas kerja teknokratis, tapi kompas arah pembangunan lima tahun ke depanapakah ia akan mencerminkan keadilan sosial, atau justru menjadi etalase janji yang tinggal janji?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu diajukan. Bukan untuk mengganggu, tetapi untuk mengawal. Bukan untuk sinis, tetapi untuk memastikan bahwa setiap langkah yang ditempuh menuju Banten 2029 bukanlah jalan mundur yang dibungkus dengan kata-kata maju. Sebab jika kritik tak dibunyikan, maka jalan keliru bisa saja dianggap benar. Dan jika publik diam, maka demokrasi kehilangan tenaga korektifnya.

Penyertaan Modal Bank Banten:
Antara Ambisi dan Kehati-hatian

Upaya memperkuat permodalan PT Bank Banten (Perseroda) Tbk bukan semata-mata urusan bisnis. Ia adalah pertaruhan besar sebuah daerah dalam menjaga kedaulatan ekonominya.
Dengan target modal inti minimum Rp3 triliun sebagaimana diamanatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), langkah ini tentu strategis.

Namun, justru karena strategis itulah, ia menuntut lebih dari sekadar semangat. Ia butuh kebijaksanaan, perhitungan cermat, dan pengawalan publik yang memadai.

Sebagai pemegang saham mayoritas, Pemerintah Provinsi Banten memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Bank Banten bukan hanya simbol kemandirian fiskal daerah, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi lokalterutama dalam mendukung UMKM dan memperluas akses perbankan bagi masyarakat kecil. Ambisi itu patut diapresiasi. Tetapi setiap ambisi, sebesar dan semulia apa pun, harus dijalankan dengan hati-hati. Di sinilah peran transparansi, akuntabilitas, dan rasionalitas fiskal menjadi krusial.

Pertama, soal transparansi.

Publik perlu tahu, dan punya hak untuk tahu, apa saja aset yang akan dikonversi menjadi penyertaan modal. Penilaian atau appraisal tidak boleh menjadi dokumen eksklusif di ruang tertutup. Harus ada mekanisme agar hasilnya dapat diakses, dikritisi, dan dipastikan wajar. Setiap rupiah uang rakyat yang disuntikkan ke Bank Banten harus mencerminkan nilai pasar yang adilbukan manipulatif, bukan asumtif, apalagi politis. Transparansi bukan hanya prosedur, ia adalah pondasi kepercayaan.

Kedua, kesiapan fiskal daerah harus jujur dievaluasi.

APBD Banten tentu tidak tanpa batas. Penyertaan modal adalah keputusan besar yang memiliki implikasi jangka panjang. Pertanyaannya: apakah opsi ini sudah menjadi pilihan terbaik setelah opsi lain dieksplorasi? Misalnya, apakah sudah ada upaya maksimal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau merapikan belanja daerah agar lebih efisien? Jangan sampai penyertaan modal ini justru menekan ruang fiskal untuk sektor strategis lain seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur dasar.


Ketiga, skema Kerja Sama Usaha (KUB) dengan Bank Jatim adalah peluang yang menjanjikan, tapi juga mengandung risiko.


Dari satu sisi, kita bisa mendapatkan transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan sinergi pasar. Tapi dari sisi lain, ada potensi tergerusnya dominasi kepemilikan saham oleh Pemprov Banten. Bila struktur kepemilikan tidak didesain dengan cermat, kita bisa kehilangan kendali strategis atas bank milik sendiri. Prinsipnya jelas: kerja sama boleh, subordinasi tidak. Bank Banten harus tetap berdiri sebagai entitas daerah yang berdaulat, bukan sekadar anak bungsu dalam konglomerasi bank besar lain.

Keempat, penyertaan modal harus diikuti dengan reformasi tata kelola.

Kucuran modal tanpa perubahan manajemen hanya akan menambal masalah, bukan menyelesaikannya. Bank Banten harus menjadi lembaga yang profesional, akuntabel, dan benar-benar melayani kepentingan publik. Jauh dari praktik rente, jauh dari intervensi politik jangka pendek. Perlu ada tolok ukur keberhasilan yang objektifKey Performance Indicators (KPI) yang jelas dan terukur. Tanpa itu, kita akan kembali terjebak dalam siklus lama: menyuntik dana, menunggu harapan, lalu kecewa.

Penyertaan modal untuk Bank Banten adalah keputusan strategis yang akan dikenang, apakah ia menjadi langkah maju atau justru jebakan keuangan yang disesali. Untuk itu, mari menempatkan akal sehat di atas kegaduhan politik, dan menjadikan akuntabilitas sebagai teman seperjalanan setiap kebijakan publik.

Kita ingin Bank Banten tumbuh sehat dan kuat, bukan sekadar besar di atas fondasi yang rapuh. Dan kita ingin pembangunan ekonomi Banten berjalan dengan arah yang benar, bukan sekadar berjalan karena sudah terlanjur melangkah.

Karena di ruang publik yang sehat, kritik bukanlah gangguan. Ia adalah cahayayang menerangi, bukan membakar.

RPJMD 2025-2029: Membangun Banten
dengan Arah, Akal, dan Akhlak

Visi pembangunan jangka menengah Provinsi Banten 2025-2029 yang mengusung cita Banten Maju, Adil Merata, Tidak Korupsi adalah ekspresi optimisme politik yang patut diapresiasi. Ada semangat untuk menyatukan kemajuan dan keadilan, menyeimbangkan pertumbuhan dan pemerataan, serta menegaskan integritas dalam tata kelola.

Target-target seperti pertumbuhan ekonomi 7,9 persen, pengurangan kemiskinan hingga ke angka 2,423,43 persen, dan pendapatan per kapita lebih dari Rp106 juta, merupakan gambaran ambisius tentang Banten masa depan. Namun, visi yang besar tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditopang oleh fondasi kebijakan yang cermat dan strategi yang bijak.

Visi butuh kaki. Cita-cita butuh cetak biru. Impian harus dipijakkan pada realitas, bukan semata pada narasi. Oleh karena itu, ada beberapa pokok pikiran yang patut digarisbawahi sebagai bahan refleksi dan koreksi konstruktif atas desain besar ini.

Pertama, Keadilan Wilayah: Menyatukan yang Jauh, Menguatkan yang Rapuh

Pemerataan pembangunan bukan sekadar jargon. Ia adalah keharusan moral sekaligus strategi politik yang cerdas. Banten hari ini masih memikul warisan ketimpangan historis antara kawasan utara dan selatan. Pandeglang dan Lebak, dua wilayah dengan kekayaan budaya dan potensi alam yang luar biasa, masih terjebak dalam keterbatasan infrastruktur dasar, akses pendidikan, dan layanan kesehatan.

Keadilan anggaran harus menjangkau desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan. RPJMD harus menjadi instrumen untuk menyatukan wilayah, bukan memperlebar jurang ketimpangan.

Kedua, UMKM dan Ekonomi Kreatif: Pilar yang Perlu Dipapah, Bukan Sekadar Dipuja

Jika pertumbuhan ingin berakar pada rakyat, maka UMKM dan sektor ekonomi kreatif harus diposisikan sebagai pemain utama. Namun, mendukung UMKM bukan sekadar membuat program pelatihan atau membagikan modal kecil. Ia harus diletakkan dalam ekosistem yang hidup: pembiayaan berbunga rendah, pasar digital yang inklusif, pendampingan berkelanjutan, serta kolaborasi dengan sektor swasta dan akademisi. Pemerintah harus menghindari pendekatan karitatif yang dangkal, dan beralih ke pendekatan struktural yang memberdayakan.

Jangan sampai UMKM hanya ramai disebut saat kampanye, tapi sepi dalam kebijakan.

Ketiga, Tidak Korupsi: Slogan Tidak Cukup, Sistem Harus Dibangun

Antikorupsi bukan semata narasi moral. Ia adalah sistem. Komitmen tidak korupsi yang tercantum dalam visi RPJMD harus diwujudkan dalam perubahan nyata di lapangan birokrasi: dari perizinan yang cepat dan transparan, hingga belanja anggaran yang efisien dan akuntabel. Penguatan zona integritas, digitalisasi layanan publik, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan harus menjadi standar, bukan pengecualian. Tanpa perbaikan sistem, semangat antikorupsi akan tinggal janji.

Keempat, Pembangunan Berbasis Lingkungan: Tidak Sekadar Hijau di Atas Kertas

Banten bagian selatan adalah kawasan rawan bencana yang sekaligus menyimpan kekayaan hayati yang besar. Maka, pembangunan tanpa perspektif ekologis adalah lompatan yang berisiko. Setiap proyek besar harus diawali dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang serius, bukan formalitas administratif. Bukan hanya soal menjaga alam, tapi juga melindungi manusia. Pembangunan yang lalai pada keberlanjutan hanya akan mempercepat krisis, bukan menyelesaikannya.

Kelima, Partisipasi Publik: Demokrasi Substantif dalam Perencanaan

Demokrasi tidak boleh berhenti di bilik suara. Dalam konteks pembangunan, partisipasi publik harus menjadi napas dari setiap tahap: dari perencanaan hingga pengawasan. Mekanisme konsultasi yang bermakna, forum warga yang hidup, serta keterbukaan data dan informasi, akan menjadi garansi bahwa arah pembangunan tidak menyimpang dari kebutuhan rakyat. RPJMD bukan milik elite birokrasi; ia adalah milik warga Banten. Karena itu, suara rakyat harus terdengar dan terhitung.

Keenam, Kreativitas Fiskal: Ketika APBD Tidak Cukup, Akal Harus Dipakai

Kita semua mafhum, APBD Banten tidak cukup menanggung semua ambisi besar. Di sinilah kreativitas fiskal dibutuhkan. Kemitraan strategis dengan dunia usaha, pemanfaatan potensi filantropi, hingga kerja sama riset dengan perguruan tinggi, adalah peluang yang harus dimaksimalkan.

Pemerintah juga bisa mulai mengkaji skema seperti obligasi daerah atau pendanaan publik untuk proyek-proyek khusus. Namun, setiap langkah inovatif harus ditopang oleh transparansi dan akuntabilitas yang kuat. Inovasi tidak boleh menjadi ruang gelap baru bagi penyimpangan.

Ketujuh, Sekolah Rakyat dan Pertanian: Jangan Sekadar Simbol, Jadikan Solusi

Program Sekolah Rakyat dan revitalisasi pertanian menjadi dua titik terang dalam RPJMD ini. Tapi titik terang bisa menjadi bias jika tidak dirancang dengan matang. Sekolah Rakyat harus dibangun dengan standar mutu: guru profesional, kurikulum adaptif, dan sistem evaluasi yang adil. Ia harus menjadi jawaban bagi mereka yang selama ini terpinggirkan dari sistem pendidikan formal.

Sementara sektor pertanian, tidak boleh lagi dianggap sebagai warisan masa lalu. Ia adalah masa depan.
Dengan pendekatan smart farming, digitalisasi rantai pasok, dan insentif bagi petani muda, pertanian bisa menjadi kekuatan ekonomi dan kedaulatan pangan. Pemerintah harus melihat petani bukan sebagai objek bantuan, tapi subjek pembangunan.

Kedepalan, Visi Butuh Integritas, Eksekusi Butuh Keberanian

RPJMD bukan sekadar dokumen formal lima tahunan. Ia adalah kompas pembangunan. Agar kompas ini tidak menyesatkan, ia harus dipandu oleh integritas, ketekunan dalam eksekusi, dan kesediaan mendengar suara rakyat. Di tengah perubahan zaman yang cepat, Banten membutuhkan arah yang jelas, akal yang jernih, dan akhlak yang kokoh.

Semoga visi besar ini tidak hanya menjadi wacana indah di atas kertas, tapi benar-benar menjelma dalam kebijakan, program, dan tindakan nyata yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat Banten dari Anyer sampai Sawarna.

Menuju Banten yang Adil dan Bermartabat

Pembahasan dua rancangan peraturan daerah inipenyertaan modal ke Bank Banten dan RPJMD 20252029sejatinya bukan sekadar soal teknokrasi dan hitung-hitungan fiskal. Ia adalah pernyataan politik pembangunan: tentang arah, keberpihakan, dan masa depan. Di sinilah letak ujian sesungguhnya: apakah visi besar Banten Maju, Adil Merata, Tidak Korupsi benar-benar diturunkan menjadi langkah-langkah nyata yang jujur, cerdas, dan berpihak pada mereka yang paling membutuhkan kehadiran negara?

Kita memerlukan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan strategis, ketegasan dalam memilih prioritas, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman kebijakan yang biasa-biasa saja. Jangan sampai semangat pembangunan terjebak dalam rutinitas birokrasi tanpa arah, atau lebih parahtersandera oleh kepentingan jangka pendek dan kepuasan simbolik.

Pemerintah harus belajar untuk mendengar dengan kesungguhan dan bertindak dengan tanggung jawab. DPRD dan media, sebagai mitra sekaligus pengawas, perlu terus menghadirkan kritik yang tajam namun berkeadaban. Sementara masyarakat sipil perlu diberi ruang dan akses untuk ikut serta, tidak sekadar disapa di awal tetapi dilibatkan sepanjang proses.

Kini adalah waktunya menjadikan RPJMD bukan sekadar dokumen lima tahunan yang penuh jargon, tetapi kompas moral dan strategis yang memandu pembangunan. Menuju Banten yang tak hanya tumbuh dalam angka statistik, tetapi juga tumbuh dalam rasa keadilan, martabat, dan kualitas hidup masyarakatnya.

Membangun Banten yang bermartabat adalah kerja besar. Ia tak bisa ditopang oleh janji-janji yang ditulis dengan tinta, tetapi oleh tekad yang dibayar dengan kerja nyata. Jika kita ingin sejarah mencatat masa ini sebagai babak kemajuan yang bermakna, maka seluruh elemen daerah ini harus bergerak dalam irama yang sama: jujur melihat tantangan, berani membuat terobosan, dan tulus memperjuangkan rakyat.

Itulah panggilan zaman bagi siapa pun yang hari ini diberi mandat. Bukan untuk sekadar memerintah, tetapi untuk menghadirkan harapan yang bekerja.*

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments