Oleh: Revi RIzali, penulis adalah pengurus DPD HIMMA Lebak, dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar

narwala.id–Di tengah realitas kemiskinan struktural dan ketimpangan sosial yang semakin mencengkram rakyat kecil, muncul fenomena memilukan, kaum penjilat dinasti politik yang dengan rela menghambakan diri demi menjaga dan memperkuat kekuasaan dinasti. Mereka bukan sekadar pendukung politik biasa, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan yang secara sadar dan terorganisir menindas rakyat serta melanggengkan sistem dinasti. Penghamba kekuasaan inilah yang menjadi tumpuan rezim dinasti untuk mempertahankan dominasi sekaligus mengukuhkan hierarki sosial-ekonomi yang timpang.
Penjilat Sebagai Agen Reproduksi Hegemoni Dinasti
Pierre Bourdieu dengan konsep habitus dan kapital simbolik memberi pemahaman bahwa para penjilat ini melakukan internalisasi nilai-nilai dominasi yang mengubah mereka menjadi agen reproduksi hegemoni dinasti. Mereka membangun hubungan “kedekatan simbolik” dengan penguasa bukan demi keadilan, melainkan demi keuntungan pribadi dan sosial yang mengukuhkan posisi mereka di strata atas. Sehingga, mereka lebih memilih menjadi budak dinasti yang rela menjilat demi sebutir nasi daripada berjuang melawan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat bawah.
Ironi Kaum Intelektual dan Tokoh Moral
Lebih tragis lagi, sebagian penjilat ini justru datang dari kalangan yang secara historis menjadi garda moral perjuangan seperti pemuda, intelektual, bahkan tokoh agama. Alih-alih menggerakkan revolusi kesadaran dan membela rakyat kecil, mereka memilih menjadi “kolaborator” dinasti, memperdagangkan idealisme dan masa depan bangsa untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka dengan bangga memuja dan menyanjung penguasa, mengabaikan penderitaan rakyat yang kian hari makin terabaika
Konsekuensi Sosial dan Politik
Konsekuensi dari keberadaan para penjilat ini sangat destruktif. Mereka memperkuat eksklusivitas politik yang memperdalam pemiskinan secara struktural melalui penindasan sistemik. Ketika harga kebutuhan pokok melambung, pendidikan dan layanan kesehatan makin sulit diakses, para penjilat justru asyik merayakan kemewahan kekuasaan yang mereka dukung. Mereka menjadi penghalang utama bagi perubahan sosial karena mengaburkan kesadaran kelas dan membentengi dominasi oligarki yang merampas hak-hak rakyat.
Revolusi sosial harus diawali dengan kesadaran kritis
Melawan dinasti politik bukan hanya soal menjegal penguasa, tetapi juga memerangi para penjilat yang menjadi alat perpanjangan tangan dinasti. Revolusi sosial harus diawali dengan kesadaran kritis yang membongkar narasi-narasi palsu dan menghancurkan mitos legitimasi yang dibangun oleh para penjilat ini. Revolusi ala Frantz Fanon menegaskan bahwa perubahan sejati lahir dari kesadaran dan kemarahan yang tak tertahankan terhadap penindasan. Perlawanan tidak bisa terjadi dalam zona nyaman atau dengan kompromi, ia harus menyulut api pemberontakan yang membakar setiap bentuk kolaborasi dengan tirani. Sudah waktunya mereka diberi stigma sosial. Dalam masyarakat yang tersadarkan, penghamba kekuasaan bukan hanya dianggap rendah, mereka juga di anggap hina dan aib yang harus dihabisi.
Melawan dinasti politik berarti melawan akar kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Maka dari itu, perjuangan melawan dinasti politik harus dibarengi dengan perlawanan terhadap penjilat yang memperkuat dominasi tersebut. Hari ini tugas kita bukan hanya melawan penguasa, tapi membuka kedok para penjilatnya. Mengingatkan publik bahwa kehancuran bangsa ini bukan hanya karena satu dinasti, tapi karena terlalu banyak yang rela menjadi jongos demi uang dan jabatan. Dan kelak, ketika sejarah mencatat siapa yang berada di sisi rakyat, nama-nama para penjilat tidak akan ada di sana. Sebab sejarah tidak akan menulis nama para penghamba kekuasaan, kecuali sebagai catatan kaki dari zaman yang penuh kebusukan.

