Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq, Pengamat Media dan Kebijakan Publik

narwala.id – Tangerang, 03 Juni 2025, Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra Soni dan Dimyati Natakusumah saat ini sedang semangat memenuhi janji politiknya pada saat kampanye Pilkada 2024 beberapa waktu yang lalu. Mereka punya jargon Sekolah Gratis dan Tidak Korupsi.Program Sekolah Gratis atau PSG merupakan program unggulan yang diusung keduanya. Karena jargon ini sangat menarik bagi para pemilih, bisa jadi karena faktor inilah yang menjadi salah satu penentu kemenangan mereka pada pesta demokrasi lokal tersebut.Yang dimaksud sebagai PSG adalah bahwa Gubernur dan Wagub akan menggratiskan biaya di sekolah swasta untuk tingkat SLTA yang meliputi SMA, SMK, dan SKh. Sementara untuk di sekolah negeri milik pemerintah, perkara gratis ini sudah diterapkan tahun-tahun sebelumnya.Sekolah itu ada dua macam.
Pertama, sekolah negeri milik pemerintah yang seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Karena itulah pemerintah bisa menggratiskan seluruh pembiayaan bagi murid yang belajar di sekolah milik pemerintah tersebut.Kedua, sekolah swasta yang adalah dirintis, didirikan, dibangun, dirawat, dan dibiayai oleh masyarakat dengan menggunakan lembaga yayasan.
Dalam prosesnya, pastinya membutuhkan pembiayaan yang bersumber dari pengelola yayasan yang melibatkan masyarakat.Biaya pendidikan itu meliputi tiga bagian besar yaitu biaya investasi seperti pembelian lahan dan pembangunan gedung, biaya operasional seperti honor tenaga pendidik, dan biaya personal seperti baju seragam, tas, dan sepatu murid.Dalam konteks sistem pendidikan nasional, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal. Sebagian dari pondok pesantren tersebut juga menyelenggarakan pendidikan formal.
Artinya, pada sebagian pondok pesantren itu ada SMA atau SMK.Rerata pondok pesantren itu dikelola oleh masyarakat. Artinya, sekolah yang berada di bawah pengelolaan pondok pesantren itu statusnya swasta. Besaran biaya pendidikan pada sekolah yang berada di bawah pengelolaan pondok pesantren, pastinya lebih besar dibanding sekolah swasta biasa.Sekolah swasta biasa dimaksud adalah sekolah tanpa asrama dan atau pondok pesantren.
Bila murid di pondok pesantren wajib tinggal di pondok atau asrama, sementara murid sekolah swasta pada umumnya bisa tinggal di rumah orangtuanya.Biaya sekolah yang dikelola oleh pondok pesantren itu, bersumber dari masyarakat atau orangtua murid. Biaya itu, selain biaya operasional bulanan berupa Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau SPP, juga biaya lain seperti sumbangan pembangunan hingga living cost berupa makan, cucian, listrik, internet, serta biaya asrama.PSG yang akan digulirkan mulai tahun pelajaran sekarang, dan baru menyasar Kelas X, baru bisa mengganti peran biaya SPP. Namun pemerintah menuntut sekolah penerima program untuk tidak melakukan pungutan apapun terhadap murid dan orangtua.
Disertai pernyataan semacam ancaman bila tidak mengikuti aturan.Padahal, jangankan di sekolah yang dikelola pondok pesantren yang notabene menerapkan biaya ekstra, pada sebagian sekolah swasta yang telah mapan dan selama ini telah menerapkan biaya SPP cukup tinggi, dana bantuan PSG itu belum mencukupi.Di satu sisi, pemerintah baru hanya mampu mengganti biaya SPP. Di sisi lain, pemerintah menuntut agar sekolah penerima SPP tidak boleh memungut biaya apapun dari masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, akan ada banyak sekolah swasta yang mundur dan tidak serta dalam PSG. Termasuk sekolah swasta yang dikelola pondok pesantren.Salah satu contohnya terjadi di Kabupaten Tangerang. Di wilayah ini ada sekitar 120 SMA swasta.Sekolah yang sudah siap menerima program ini ada sekitar 80 sekolah. Itu artinya sepertiga dari sekolah tidak bergabung dalam PSG. Jumlah itu cukup besar dan bisa menuai kesan bahwa PSG di Banten berpotensi gagal.Beberapa waktu lalu, jajaran pengurus pondok pesantren se Provinsi Banten yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Pondok Pesantren atau FSPP, melakukan audiensi dengan Gubernur membahas skema PSG di pondok pesantren.
Pastinya FSPP berharap agar PSG ini juga menyasar murid di pondok pesantren.Tapi bila skema PSG hanya berlaku dengan ketentuan yang menjadi dasar hukumnya berupa Peraturan Gubernur tentang PSG ini, yang secara tersurat menyatakan bahwa sekolah penerima PSG dilarang memungut iuran dalam bentuk apapun, maka akan ada banyak ponpes yang mundur secara teratur.Pilihan itu logis dan bisa diterima. Bayangkan, PSG cuma cukup mengganti SPP. Padahal biaya hidup dan biaya belajar di pondok pesantren tidak hanya cuma SPP. Lalu pemerintah menerapkan syarat dan ketentuan berlaku untuk tidak melakukan pungutan iuran.Sejatinya, sekolah-sekolah swasta yang sudah mapan dalam aspek pembiayaan, tidak terlalu menghajatkan bantuan pemerintah dalam PSG ini.
Namun sebagai sebuah program yang idealnya menyasar seluruh anak bangsa, paling tidak mereka pun merasa terlibat dan dirangkul sebagai warga negara.Di pondok pesantren, biaya pendidikan itu tidak hanya SPP. Maka ketika PSG mengganti SPP, hanya biaya itu yang ditiadakan. Di sekolah swasta yang sudah mapan, PSG hanya cukup mengganti sebagian SPP. Maka sisanya masih diperbolehkan bersumber dari orangtua murid.Tapi bila ketentuan yang diterapkan demikian -bahwa dilarang melakukan pungutan- adalah tidak salah bila mereka memilih untuk tidak tergabung dalam program ini.
Dengan begitu mereka lebih leluasa dalam mengelola lembaga pendidikannya.Di Provinsi Banten, ada banyak pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal seperti SMA dan SMK. Kalau PSG tidak bisa mengcover anak bangsa yang belajar di pondok pesantren, itu sama artinya bahwa PSG di Banten tidak menunjukkan keberpihakannya kepada pondok pesantren sebagai representasi pendidikan berbasis agama.Gubernur Banten mesti menunjukkan keberpihakannya.
Oleh karena itu, selama masih dimungkinkan adanya perubahan regulasi, sebaiknya pemerintah Provinsi Banten menerapkan regulasi yang bijak, elegant, dan mempertimbangkan kondisi faktual perihal sekolah swasta yang sangat beragam tersebut.Regulasi dimaksud misalnya bagi sekolah penerima PSG baik sekolah swasta yang dikelola pondok pesantren maupun sekolah swasta dengan besaran biaya SPP di atas nominal PSG -karena biaya pendidikan tidak hanya SPP- masih memungkinkan untuk melibatkan orangtua murid dalam hal pembiayaan pendidikan anak-anaknya.Semoga Gubernur Banten berkenan mendengar dan mengakomodir saran, masukan, pertimbangan, dan rekomendasi ini. Terima kasih.