Oleh Nadiah, penulis adalah wakil ketua umum MATADEWA

“Ketika kekuasaan menjadi alat reproduksi ketimpangan, maka rakyat hanya akan menjadi penonton dalam panggung demokrasi yang penuh kepura-puraan.”
narwala.id – Seratus hari pertama pemerintahan Hasbi Jayabaya-Amir Hamzah di Kabupaten Lebak seharusnya menjadi momen konsolidasi, penegasan arah kebijakan, serta pembuktian janji-janji kampanye yang digembar-gemborkan. Namun pada realitas berkata sebaliknya, tak ada gebrakan signifikan, tak ada lompatan solutif, dan yang paling menyedihkan tak ada keberpihakan nyata pada rakyat miskin dan kelompok rentan. Yang terjadi justru reproduksi ketimpangan lama dalam wajah baru, diperburuk oleh simbolisme populis yang dangkal dan abai terhadap kompleksitas masalah sosial di akar rumput.
Kepemimpinan Hasbi-Amir dalam 100 hari ini tidak menunjukkan kapasitas transformasional, melainkan justru terjebak dalam pola lama yang menormalisasi ketidakadilan struktural. Di bidang pendidikan, akses dan mutu masih timpang antar wilayah. Di sektor kesehatan, pelayanan dasar di pelosok desa masih belum bisa dikatakan layak, dan infrastruktur masih menjadi mimpi yang tak kunjung terwujud bagi ribuan keluarga di kawasan terpencil.
Lebih dari itu, konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan korporasi masih disikapi dengan sikap mengambang dan minim keberanian politik. Alih-alih tampil sebagai penggerak perubahan, pemimpin daerah justru memperkuat fragmentasi sosial dimana elite politik terisolasi dari realitas warga biasa, dan kebijakan publik lebih banyak diarahkan untuk pencitraan daripada pemecahan masalah substansial. Retorika “pembangunan berkeadilan” hanya menjadi jargon kosong tanpa keberanian mendobrak oligarki lokal dan praktik birokrasi yang korup.
Fragmentasi sosial yang terjadi di Kabupaten Lebak bukan semata akibat ketimpangan ekonomi, tapi juga cerminan dari kegagalan politik representatif. Pemerintahan Hasbi-Amir tampak enggan menyentuh akar masalah relasi kuasa timpang antara rakyat dan elite, serta lemahnya mekanisme partisipasi warga dalam pengambilan keputusan.
Dalam kacamata teori sosiologi kritis, seperti yang dikemukakan oleh Bourdieu (1986), ketimpangan sosial tidak hanya diwariskan melalui ekonomi dan pendidikan, tetapi juga melalui simbol dan kuasa politik. Dalam hal ini, fragmentasi sosial diperparah oleh simbolisme birokratis yang mempermainkan harapan rakyat kecil tanpa menghadirkan perubahan material yang nyata.
Kepemimpinan yang tidak hadir dalam konflik-konflik sosial yang tidak mendengar suara rakyat kecil dan yang tidak mengubah struktur ketimpangan sesungguhnya tidak hanya gagal, tetapi berbahaya. Ia mereproduksi alienasi sosial yang memperlebar jarak antara negara dan warganya.
Zygmunt Bauman (2000) dalam karya “Liquid Modernity” menjelaskan bagaimana masyarakat modern cenderung mengalami pelemahan ikatan sosial dan meningkatnya fragmentasi akibat ketidaksetaraan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Dan di Lebak, fragmentasi ini tampak jelas dari jurang sosial yang terbentuk antara kelompok elite politik dan masyarakat bawah yang marjinal.
James C. Scott, dalam bukunya “Weapons of the Weak” juga menegaskan bahwa ketidakadilan yang terus berlangsung akan memunculkan perlawanan dalam bentuk-bentuk yang tak selalu terlihat seperti penolakan halus, apatisme, bahkan penghindaran terhadap negara. Fenomena ini kini terjadi di Lebak. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah daerah, dan secara perlahan menarik diri dari partisipasi publik. Mereka tidak bodoh, mereka hanya lelah berharap.
Apakah ini yang disebut kepemimpinan? Apakah pemimpin hanya sekadar menjabat, tanpa hadir dalam denyut kehidupan rakyatnya?
Alih-alih menyampaikan langkah konkret, Hasbi Jayabaya dalam beberapa kesempatan justru menyatakan bahwa ia tidak punya program kerja 100 hari, karena menurutnya “program semacam itu hanya janji kosong”. Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan ketidakseriusan dalam merespons krisis, tetapi mencerminkan ketidakmampuan untuk membaca urgensi sosial yang sedang terjadi.
Dalam 100 hari ini, publik tidak hanya kecewa tapi mereka mulai apatis. Ketika negara tidak menunjukkan keberpihakan, masyarakat belajar untuk tidak berharap. Ini adalah pertanda serius dari krisis legitimasi kekuasaan. Ketika institusi pemerintah tidak mampu lagi menjadi sandaran, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri melalui protes, pengorganisiran alternatif, atau bahkan migrasi sosial.
Apakah ini yang diinginkan oleh Hasbi-Amir? Apakah mereka menyadari bahwa diamnya dalam penderitaan rakyat adalah bentuk kekerasan struktural yang paling halus tapi paling menghancurkan!?
Kepemimpinan bukan tentang menjaga citra, melainkan tentang memecah ketimpangan. Kabupaten Lebak butuh pemimpin yang memiliki keberanian moral dan intelektual untuk membongkar struktur ketidakadilan, membela kelompok yang tertindas, dan membuka ruang partisipasi rakyat secara otentik.
Ini adalah peringatan keras bahwa rakyat Lebak tidak butuh pemimpin simbolik yang hadir di baliho, tetapi absen dalam persoalan nyata. Jika dalam 100 hari pertama saja sudah menunjukkan tanda-tanda kegagalan, maka publik berhak meragukan masa depan 5 tahun ke depan.
“Tugas kaum intelektual dan aktivis bukan sekadar menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya.” – Karl Marx