Oleh Aceng Murado, penulis adalah pengurus DPD HIMMA Lebak dan Peneliti BRIMA, orang yang Pernah Ikut Ngaliwet di Pondok Pesantren Salafi Al-mustajib Madarijul Ulum Serang-Banten

narwala.id – Fenomena pengklaiman kebenaran tunggal atas nama agama bukan hal baru dalam sejarah Islam. Namun yang memprihatinkan, sikap eksklusif ini terus mereproduksi dirinya dalam berbagai wajah, salah satunya dalam relasi antara kalangan santri dan akademisi. Sebagian pihak yang merasa dirinya “paling dekat dengan Tuhan” lantaran berasal dari lingkungan pesantren, seringkali memonopoli kebenaran teologis. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berguru di pesantren, seseorang dijamin memahami agama secara sahih, bahkan dianggap telah memegang kunci surga.
Di sisi lain, tak sedikit kalangan akademisi yang dicap sesat karena dianggap terlalu bebas berpikir, terlalu rasional, atau karena mengkaji agama dengan pendekatan filsafat, sosiologi, atau antropologi. Yang menyedihkan, tuduhan semacam ini tidak dibangun dari dialog ilmiah, melainkan dari kecurigaan ideologis yang membutakan.
Apakah surga memang hanya milik santri? Apakah akademisi memang selalu dekat dengan kesesatan? Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan untuk membongkar mitos-mitos eksklusivisme yang selama ini dibiarkan hidup.
Menelusuri Akar Masalah
Sikap eksklusif sebagian kalangan santri atau alumni pesantren sebenarnya bukan sepenuhnya keliru bila dipahami sebagai bentuk ghirah (semangat) dalam menjaga otentisitas ilmu agama. Namun masalah muncul ketika semangat itu berubah menjadi arogansi, menganggap bahwa jalur keagamaan selain pesantren bukan hanya tidak sah, tetapi bahkan membahayakan, walaupun teks yang dikaji nya padahal sama.
Sedikitnya, fenomena menakutkan seperti ini dapat dikaji dalam dua aspek:
Pertama, Aspek Psikologis-Sosiologis
Fenomena klaim kebenaran tunggal yang menakutkan ini dapat ditelusuri akar-akarnya dari kondisi sosial dan psikologis yang membentuk pola pikir eksklusif. Dalam banyak komunitas yang homogen secara ideologis dan tertutup terhadap interaksi lintas pemikiran, individu dibesarkan dalam kerangka kognitif yang sempit. Misalnya hanya mengenal satu kitab kuning, satu metode qira’ah, atau satu mazhab.
Situasi ini membentuk epistemic closure (penutupan pengetahuan) yang membuat segala bentuk alternatif dianggap bukan sebagai ragam pemikiran, melainkan sebagai penyimpangan. Lingkungan yang minim dialog interdisipliner dan miskin keberagaman intelektual melahirkan generasi yang memegang teguh satu kebenaran tunggal tanpa ruang untuk mempertimbangkan kemungkinan kebenaran lain. Akibatnya, mereka cenderung melihat pihak lain tidak hanya sebagai berbeda, tetapi juga sebagai ancaman terhadap kebenaran yang diyakini secara absolut.
Kedua, Aspek Teologis-Filosofis
Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, pendekatan terhadap kebenaran bersifat plural dan dinamis. Banyak ulama besar tidak membatasi diri pada satu aliran atau pendekatan saja, tetapi menjelajahi berbagai disiplin secara integratif. Al-Ghazali, yang sering dijadikan rujukan oleh banyak kalangan tradisionalis, adalah contoh ulama multidisipline. ia seorang sufi, ahli fikih (faqih), sekaligus filsuf. Ia tidak hanya mengkritik para filsuf yang dianggapnya terlampau rasional dalam memahami ketuhanan, tetapi juga mengkritik para fuqaha dan sufi yang terjebak dalam dogmatisme dan formalisme ibadah.
Dalam karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Al-Ghazali secara tajam mengecam orang-orang yang merasa telah mencapai puncak kesalehan, namun sesungguhnya hatinya diselimuti kesombongan spiritual. Ia menyebut mereka sebagai golongan yang tertipu oleh amalnya sendiri (ghurur al-‘ibadah), karena merasa paling dekat dengan Allah dan memandang remeh orang lain yang berbeda jalan. Kritik ini menunjukkan bahwa menurut Al-Ghazali, kebenaran spiritual tidak hanya terletak pada legalitas syariat, tetapi lebih dalam lagi pada keikhlasan hati, kerendahan diri, serta keterbukaan dalam mencari kebenaran yang hakiki.
Membela Akademisi, Antara Nalar dan Agama
Akademisi bukanlah musuh agama. Bahkan sejak masa awal, Islam tumbuh di tangan para pemikir yang mencintai ilmu dan keterbukaan berpikir. Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko adalah contoh klasik integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Para filsuf seperti Ibn Sina, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd tidak hanya hafal Al-Qur’an dan hadis, tapi juga menguasai logika, matematika, dan filsafat Yunani.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia kontemporer, ada semacam pembelahan sosial yang tidak sehat. Santri dianggap lebih sah secara agama, sementara akademisi dianggap terlalu bebas dan jauh dari tradisi. Padahal, banyak akademisi Muslim hari ini yang justru menghidupkan kembali tradisi berpikir kritis, menggali warisan intelektual Islam, dan melawan fundamentalisme melalui pendekatan keilmuan.
Menggugat akademisi hanya karena mereka berpikir sistematis dan ilmiah adalah bentuk kemunduran. Sebab, Islam tidak pernah menolak akal. Bahkan, perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah “Iqra’!” yang artinya bacalah. Dan membaca bukan hanya soal teks, tapi juga realitas.
Kebenaran Bukan Milik Kelompok
Kebenaran dalam Islam bukan milik pasti satu kelompok. Allah tidak melihat jasad atau gelar, tapi hati dan amal. Dalam hadis riwayat Muslim misalnya, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan tidak pula kepada harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”
Dengan demikian, mengklaim bahwa hanya santri yang akan masuk surga adalah bentuk kesombongan spiritual yang bertentangan dengan prinsip keadilan Tuhan. Begitu pula, menganggap semua akademisi pasti sesat adalah bentuk generalisasi yang tak berdasar.
Kita perlu berhenti mengukur kebenaran dengan seragam, gelar, atau institusi. Surga adalah hak prerogatif Allah, bukan keputusan kita, sekali lagi bukan keputusan kita.
Menuju Kolaborasi Ilmu dan Amal
Yang dibutuhkan hari ini adalah jembatan, bukan jurang. Santri dan akademisi seharusnya saling belajar, bukan saling mencurigai. Santri bisa belajar metode ilmiah dan nalar filosofis dari akademisi. Sebaliknya, akademisi bisa belajar keikhlasan dan kedalaman spiritual dari para santri. Inilah bentuk kolaborasi peradaban yang pernah dibangun di masa keemasan Islam dan harus kita bangun juga di zaman sekarang.
Jika warisan Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Syekh Nawawi al-Bantani mampu kita pahami secara terbuka dan integratif, maka Islam tidak akan lagi terjebak dalam dikotomi palsu. Tidak akan adalagi santri vs akademisi, tradisi vs modernitas, tekstual vs rasional.
Penutup
Agama bukan milik satu kelas sosial, dan surga bukan hak eksklusif golongan tertentu. Jalan menuju Tuhan terbuka luas, sejauh hati bersih dari kesombongan dan pikiran terbuka terhadap hikmah dari mana pun datangnya. Perdebatan antara santri dan akademisi bukan soal siapa paling benar, melainkan sejauh mana keduanya bersedia merendahkan ego, saling mendengar, dan berjalan bersama menuju kebenaran yang lebih utuh.
Kita tidak sedang berlomba menjadi paling suci, tetapi sedang diuji, apakah mampu menyatukan ilmu dan amal, akal dan hati, kitab dan kehidupan? Maka, tugas kita hari ini bukan membatasi siapa yang boleh mencium bau surga, melainkan memastikan bahwa kebenaran disampaikan dengan rendah hati, ilmu dipelajari dengan jujur, dan perbedaan dirayakan sebagai rahmat.
Sebab pada akhirnya, di hadapan Tuhan, yang menentukan bukan latar belakang keilmuan kita, tapi kejujuran hati dan ketulusan amal kita. Dan itu, tidak mengenal gelar, baik santri maupun akademisi. Wallahu a’lam bish-shawab.