
Oleh: Aceng Murtado
(Penulis, Pengajar, dan Pemerhati Studi Islam Interdisipliner)
Di era digital ini, menafsirkan Al-Qur’an tak lagi menjadi domain eksklusif para ulama. Media sosial memberi panggung kepada siapa saja dari selebgram, konten kreator, hingga komentator awam untuk menyampaikan tafsir atas ayat-ayat suci. Tak jarang, tafsir disampaikan dengan sangat bebas, tanpa dasar keilmuan, hanya berdasarkan opini pribadi atau realitas sosial yang sedang tren.
Apakah pendekatan kontekstual salah? Tidak. Justru dalam ilmu tafsir, dikenal prinsip penting bahwa setiap ayat diturunkan sesuai konteks, dan karenanya pemahaman terhadap realitas sosial (‘urf, maqāṣid, asbāb al-nuzūl) sangat dibutuhkan agar pesan Al-Qur’an tetap hidup dan relevan. Tafsir kontekstual adalah metode penting dalam menghadirkan Islam sebagai rahmat di setiap zaman.
Namun, di balik semangat itu, ada satu hal yang sering diabaikan, ilmu tafsir bukan sekadar intuisi atau pendapat, melainkan disiplin ilmu yang kokoh.
Mengenal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Dalam tradisi Islam, memahami Al-Qur’an memerlukan perangkat ilmiah yang disebut ‘Ulūm al-Qur’ān dan ‘Ulūm al-Tafsīr. Di antara ilmu-ilmu itu adalah:
- Asbāb al-Nuzūl – mengetahui sebab turunnya ayat untuk memahami konteks historis dan sosialnya.
- Nasikh-Mansukh – memahami ayat yang menghapus dan yang dihapus agar tidak terjadi kontradiksi pemahaman.
- Mufradāt dan Balāghah – pemahaman makna kata secara bahasa Arab klasik dan retorikanya.
- Maqāṣid al-Syarī’ah – memahami tujuan syariat: keadilan, kemaslahatan, perlindungan jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan.
- Qawā‘id al-Tafsīr – kaidah penafsiran yang mengarahkan mufasir untuk tidak melampaui batas teks dan konteks.
Para ulama klasik seperti Imam al-Ṭabarī, al-Zamakhsyarī, al-Rāzī, dan al-Qurṭubī telah menunjukkan bahwa tafsir bukan hanya soal menyesuaikan ayat dengan keadaan, tetapi menafsirkan dengan integritas metodologi. Bahkan dalam tafsir kontemporer, ulama seperti Sayyid Quthb, Fazlur Rahman, dan M. Quraish Shihab tetap menjaga disiplin metodologi dalam mengontekstualisasi pesan wahyu.
Bahaya Tafsir Bebas Tanpa Ilmu
Jika tafsir diserahkan kepada siapa saja tanpa bekal ilmu, maka yang terjadi adalah liberalisme tafsir yakni pembacaan teks tanpa rambu-rambu keilmuan dan spiritual. Ini yang oleh sebagian ulama disebut sebagai tafsīr bi al-ra’yi al-madhmūm (tafsir dengan akal yang tercela).
Nabi Muhammad ﷺ bahkan memperingatkan dalam hadis riwayat Tirmidzi:
“Barang siapa berkata tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri tanpa ilmu, maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Ini bukan berarti umat Islam tidak boleh berpikir atau melakukan ijtihad. Tapi ijtihad harus dilakukan oleh ahl al-tafsīr, mereka yang menguasai ilmu alat, memahami maqāṣid, dan memiliki integritas moral.
Kontekstualisasi yang Benar, Tajdīd, Bukan Tabdīl
Pemahaman kontekstual tetap penting bahkan diperlukan agar Islam hadir menjawab tantangan zaman. Namun pendekatannya harus bersifat tajdīd (pembaharuan yang tetap menjaga akar tradisi), bukan tabdīl (pengubahan makna seenaknya).
Sebagaimana kata Imam al-Ghazālī, “Membaca Al-Qur’an tanpa ilmu dan adab adalah seperti masuk ke laut tanpa tahu berenang.” Kita perlu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman, bukan sebagai cermin keinginan pribadi.
Penutup
Tafsir Adalah Tanggung Jawab Ilmiah dan Spiritual
Tafsir Al-Qur’an harus dijalankan dalam semangat ilmiah, spiritual, dan akhlak. Kita tidak anti terhadap pendekatan baru, tapi harus tetap tunduk pada disiplin lama yang menjaga kemurnian makna wahyu. Kontekstualisasi bukan berarti menanggalkan batas, tapi justru menghadirkan makna Al-Qur’an secara lebih hidup dan bertanggung jawab.
Mari kita pahami Al-Qur’an bukan hanya dengan semangat zaman, tapi juga dengan kerendahan hati, ilmu, dan rasa takut kepada Allah.
Catatan Penulis:
Tulisan ini mengingatkan kita bahwa dalam era kebebasan berpikir, kita tetap memerlukan batas. Tafsir bukan sekadar wacana bebas, tetapi medan ilmu yang menuntut tanggung jawab dan kehati-hatian. Islam terbuka terhadap zaman, tapi tidak rela makna wahyunya dipelintir seenaknya.

