Nama Prabu Siliwangi bukan sekadar potongan sejarah di buku pelajaran. Ia adalah suara yang masih bergema di tengah hutan-hutan tua, sosok yang masih dipanggil dalam doa-doa adat, dan nama yang dengan penuh hormat dijadikan panji kehormatan. Bagi banyak orang Sunda, Prabu Siliwangi tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya “menghilang”, atau seperti yang diyakini banyak orang tua di kampung, moksa, pergi dari dunia fisik karena sudah mencapai kesempurnaan jiwa.
Lalu siapa sebenarnya Prabu Siliwangi, dan mengapa kisahnya tetap hidup hingga kini?
Seorang Raja yang Memeluk Rakyatnya
Secara sejarah, Prabu Siliwangi adalah gelar yang dilekatkan pada Sri Baduga Maharaja, raja besar dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang memerintah pada abad ke-15. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, cinta damai, dan mampu menyatukan berbagai wilayah di Tatar Sunda.
Ia bukan tipe raja yang menaklukkan dengan pedang. Ia membangun peradaban dengan nilai. Ia melarang perbudakan, dan menegakkan keadilan sosial. Tak heran, dalam banyak cerita rakyat, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai pemimpin yang lembut tapi kuat, bijak tapi tidak angkuh.
Moksa: Tidak Mati, Hanya Menghilang
Salah satu fakta paling unik atau lebih tepatnya, mitos yang kuat adalah bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah mati. Dalam kepercayaan lokal, ia moksa, yaitu lenyap dari dunia fisik tanpa mengalami kematian biasa.
Cerita tentang moksa ini bukan sekadar legenda. Ia melekat erat dalam spiritualitas masyarakat Sunda. Banyak tempat yang diyakini sebagai lokasi moksa-nya, seperti Gunung Salak, Gunung Halimun, atau Hutan Sancang di Garut. Di sana, orang-orang kadang melihat penampakan harimau loreng besar, dan mereka percaya itu adalah jelmaan sang raja.
Sang Raja dan Harimau: Hubungan Mistis
Simbol harimau sangat melekat pada sosok Prabu Siliwangi. Dalam banyak kisah, ia bisa berubah menjadi harimau, atau dikawal oleh harimau gaib. Bahkan, satuan militer Kodam Siliwangi menggunakan simbol harimau sebagai lambang kebanggaan.
Tapi harimau dalam budaya Sunda bukan sekadar binatang buas. Ia adalah lambang kewibawaan, penjaga alam, dan pelindung yang tidak menyerang kecuali terganggu. Prabu Siliwangi diibaratkan seperti itu: tidak menindas, tapi menjaga. Tidak haus kuasa, tapi siap membela.
Ajaran dan Filosofi Kehidupan
Apa yang membuat Prabu Siliwangi bertahan dalam ingatan orang Sunda bukan hanya karena kisah mistisnya, tapi juga ajaran hidupnya.
Ia dikenal membawa nilai-nilai luhur seperti Silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasihi, saling mengingatkan, saling membimbing), hidup sederhana dan selaras dengan alam, menjaga kehormatan diri dan keluarga, tidak serakah, tidak menyakiti makhluk lain
Nilai-nilai ini masih tertanam dalam budaya Sunda sehari-hari. Dari tutur kata yang lemah lembut, gaya hidup bersahaja, hingga cara orang tua mendidik anak agar “bisa jadi jalmi hade” menjadi manusia yang baik.
Hidup dalam Nama dan Tempat
Jejak nama Siliwangi tersebar di mana-mana. Bukan hanya di sejarah, tapi juga dalam identitas sosial. Ada jalan Siliwangi, sekolah Siliwangi, pasar Siliwangi, bahkan mie Siliwangi. Tapi yang lebih penting adalah bahwa nama itu disematkan dengan rasa hormat. Ia bukan sekadar nama tokoh masa lalu, tapi simbol kebanggaan identitas Sunda.
Akhir yang Tidak Pernah Selesai
Cerita tentang Prabu Siliwangi tidak pernah punya titik akhir. Karena orang Sunda tidak pernah benar-benar membicarakan “kematiannya” melainkan terus menghidupkannya dalam cerita, doa, dan nilai hidup. Ada yang bilang, Prabu Siliwangi akan kembali suatu hari nanti, ketika Tatar Sunda benar-benar membutuhkannya. Tapi mungkin, kembalinya bukan dalam wujud manusia, melainkan dalam bentuk kesadaran baru tentang nilai-nilai hidup yang pernah ia ajarkan. Dan mungkin, itu sudah terjadi.
Prabu Siliwangi bukan hanya tokoh sejarah atau mitos. Ia adalah cara orang Sunda mengingat nilai-nilai luhur, mencintai tanah air, dan menjaga jati diri di tengah dunia yang terus berubah. Maka benar adanya, ia tak pernah mati karena terus hidup di dalam hati orang-orang yang percaya bahwa kekuatan sejati tak selalu datang dari kekuasaan, tapi dari cinta dan kearifan.

