Sultan Maulana Hasanuddin dan Proyek Peradaban Islam di Banten

Bagikan

Kesultanan Banten bukan hanya produk dari dinamika politik lokal dan kekuatan dagang abad ke-16, tetapi juga lahir dari sebuah visi besar tentang peradaban Islam. Di balik pendiriannya, berdiri seorang tokoh visioner yang tidak hanya berperan sebagai sultan pertama, tetapi juga sebagai arsitek awal peradaban Islam di ujung barat Pulau Jawa, Sultan Maulana Hasanuddin. Ia adalah tokoh yang menyatukan dakwah, kekuasaan, dan strategi geopolitik dalam satu kerangka besar untuk membentuk masyarakat Islam yang kokoh secara spiritual, sosial, dan institusional.

Maulana Hasanuddin adalah putra dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), seorang Wali Songo yang berpengaruh dalam proses Islamisasi di wilayah pesisir utara Jawa dan barat Sunda. Setelah keberhasilan Cirebon dan Demak menguasai pelabuhan Banten dari Kerajaan Sunda pada 1527, wilayah itu menjadi ladang dakwah sekaligus titik penting untuk menyebarkan pengaruh Islam ke wilayah barat Nusantara.

Maulana Hasanuddin kemudian diangkat sebagai penguasa Banten oleh ayahnya. Namun ia tidak hanya melanjutkan tugas dakwah, melainkan merancang struktur politik dan sosial yang kelak menjadi dasar berdirinya Kesultanan Banten sekitar tahun 1552. Ia memindahkan pusat kekuasaan dari Banten Girang ke pesisir, membangun masjid agung, sistem birokrasi, dan menjadikan Islam sebagai landasan hukum dan moral bagi pemerintahan.

Proyek peradaban yang dijalankan Maulana Hasanuddin mencakup berbagai aspek. Pertama, institusi keagamaan diperkuat dengan membangun masjid, mendirikan pesantren, dan mendukung aktivitas ulama. Masjid Agung Banten yang dibangun di masa ini menjadi simbol integrasi antara kekuasaan dan keagamaan. Di sekitar masjid, berkembang pusat-pusat pengajaran Islam yang melahirkan generasi ulama Banten.

Kedua, ia menyusun struktur kekuasaan yang berbasis syariat Islam, menjadikan hukum Islam sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa dan tata pemerintahan. Ini merupakan langkah penting dalam menggeser model kekuasaan warisan kerajaan Hindu-Buddha ke arah pemerintahan Islam yang lebih partisipatif melalui musyawarah dan nasihat ulama.

Ketiga, dalam bidang ekonomi, Maulana Hasanuddin mendorong aktivitas perdaganganinternasional. Pelabuhan Banten dibuka untuk para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina, dan Eropa. Ia membangun reputasi Banten sebagai pelabuhan lada yang makmur namun tetap berakar pada nilai-nilai Islam. Prinsip keadilan dalam perdagangan dan pelarangan riba mulai diberlakukan di bawah otoritas kesultanan.

Peradaban Islam yang dibangun oleh Maulana Hasanuddin tidak semata-mata berbentuk hukum dan kekuasaan, tetapi juga menyentuh budaya dan identitas masyarakat. Melalui pendekatan kultural, Islam diperkenalkan dengan cara-cara yang selaras dengan budaya lokal. Misalnya, seni bangunan, pakaian, sistem sosial, dan ritual-ritual lokal diislamkan secara bertahap tanpa konfrontasi frontal.

Proses Islamisasi ini menjadikan Banten sebagai contoh keberhasilan asimilasi agama dan budaya, di mana Islam tidak dipaksakan, tetapi diterima secara bertahap sebagai bagian dari kehidupan. Dalam hal ini, proyek peradaban Maulana Hasanuddin mencerminkan kecanggihan strategi dakwah kultural yang berbasis kebijaksanaan lokal.

Proyek peradaban Islam yang dirintis Sultan Maulana Hasanuddin menjadi fondasi kuat bagi perkembangan Banten di masa-masa berikutnya. Sultan-sultan setelahnya, termasuk Maulana Yusuf dan Sultan Ageng Tirtayasa, meneruskan visi ini dengan memperluas jejaring dagang, memperkuat pertahanan, dan memperkaya tradisi keilmuan Islam.

Hari ini, warisan Maulana Hasanuddin dapat dilihat tidak hanya dalam jejak arsitektur dan manuskrip, tetapi juga dalam identitas masyarakat Banten yang kuat dalam keislaman. Gagasan integrasi antara agama, kekuasaan, dan budaya yang ia tanamkan masih relevan untuk dijadikan inspirasi dalam membangun masyarakat beradab di era modern. Sultan Maulana Hasanuddin bukan sekadar penguasa awal Kesultanan Banten, tetapi arsitek peradaban Islam yang menyatukan visi dakwah dengan kekuatan politik dan kecanggihan budaya. Ia membuktikan bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai agama personal, tetapi juga sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang adil, berilmu, dan berdaulat.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments