Budaya Lokal, Teknologi Global: Menjaga Kearifan di Era Disrupsi

Bagikan

narwala.id – Di tengah gemuruh revolusi digital dan disrupsi teknologi, budaya lokal sering kali tercecer dari panggung perhatian publik. Sementara algoritma media sosial merancang ulang cara kita berkomunikasi, berbisnis, bahkan berpikir, nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan rasa malu mulai meredup, digantikan budaya instan, viral, dan superficial.

Pertanyaannya, di manakah posisi budaya lokal dalam ekosistem global yang serba digital ini? Apakah ia akan punah seperti kaset pita dan wartel, atau justru mampu bertransformasi menjadi kekuatan identitas dan daya saing bangsa?

Budaya Lokal: Akar yang Menguatkan

Budaya lokal bukan sekadar tarian, makanan, atau pakaian adat. Ia adalah cara hidup, sistem nilai, dan panduan moral yang teruji oleh waktu. Dalam konteks Banten, misalnya, nilai-nilai dalam adat Seren Taun, tradisi debus, hingga falsafah silaturahmi adalah bagian dari sistem sosial yang telah menjaga kohesi masyarakat selama berabad-abad.

Namun, modernisasi tanpa filtrasi kerap menempatkan budaya lokal dalam posisi terpinggirkan. Padahal, budaya lokal dapat menjadi landasan moral dan sosial dalam menghadapi tantangan global: korupsi, dekadensi moral, hingga krisis identitas.

Teknologi Global: Pisau Bermata Dua

Kita tidak bisa menolak teknologi. Yang bisa dan harus kita lakukan adalah mengelolanya. Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat budaya, bukan menggantikannya. Ketika konten lokal yang berisi nilai-nilai luhur tidak hadir di ruang digital, maka ruang itu akan diisi oleh konten asing yang tak selalu sesuai dengan karakter bangsa kita.

Sayangnya, anak-anak muda kita lebih hafal dance TikTok daripada cerita rakyat daerahnya sendiri. Banyak sekolah lebih sibuk mengajarkan coding daripada mengajarkan empati atau etika. Ini bukan salah teknologi—ini soal bagaimana kita membingkai prioritas.

Kolaborasi, Bukan Polarisasi

Di sinilah negara, pemerintah daerah, ormas, dan komunitas lokal harus hadir. Kita butuh kebijakan budaya yang tidak hanya seremonial, tapi strategis. Budaya lokal harus didigitalisasi, ditransformasikan menjadi konten kreatif, edukatif, dan kompetitif.

Contohnya, mengangkat kisah lokal menjadi animasi YouTube. Menjadikan cerita rakyat sebagai game edukasi. Menyisipkan nilai-nilai adat dalam platform e-learning. Ini adalah kolaborasi antara budaya dan teknologi, bukan polarisasi.

Menjaga, Bukan Sekadar Melestarikan

Melestarikan budaya adalah upaya statis. Menjaganya agar relevan di era disrupsi adalah pekerjaan strategis. Kita tidak sedang melawan globalisasi atau teknologi, tapi kita sedang memperjuangkan agar di tengah arus global, perahu budaya kita tidak karam.

Jika kita ingin generasi masa depan mengenal jati dirinya, maka hari ini kita harus memastikan budaya lokal hadir, hidup, dan berdaya di tengah dunia yang terus berubah.


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu dari mana ia berasal dan ke mana ia akan melangkah. Dan budaya adalah kompasnya.”

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments