Belajar di Bale Rombeng, Madrasah Kehidupan yang Tak Terbandingkan

Bagikan

Narwala.id- Dunia pesantren itu unik. Sekali lagi saya bilang, unik. Di balik dinding bambu atau dalam istilah orang Sunda disebut bale rombeng, lahir generasi yang bukan hanya bisa membaca kitab kuning, tapi juga memahami makna kehidupan.

Pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, melainkan madrasah kehidupan, tempat di mana akal, hati, dan tangan diasah bersamaan.

Di pesantren, seorang santri tidak hanya belajar fiqih, tauhid, tasawuf atau nahwu sharaf. Ia juga belajar memasak, mencuci, membangun tempat tinggalnya sendiri, bahkan merasakan lapar dan lelah dalam kebersamaan. Semua itu bukan penderitaan, tetapi pendidikan karakter paling murni yang pernah saya alami. Inilah pendidikan yang tidak akan kita jumpai di tempat manapun yang tentunya serba instan dan berpendingin ruangan.

Meskipun begitu, akhir-akhir ini muncul suara-suara sumbang dari mereka yang tidak pernah menghirup udara subuh di pondok atau bale rombeng, tidak pernah duduk di bale rombeng sambil menunggu giliran mandi, tidak pernah juga mereka satu gelas kopi diminum bersama dan tidak pernah pula merasakan teguran lembut tapi mendidik dari seorang kiai. Mereka mencibir ketika melihat santri disuruh bekerja, menimba air, membersihkan halaman, atau bahkan ketika dimarahi karena kesalahan. Lebih parah dan menyayat hati lagi, mereka menuduh ketaatan santri terhadap gurunya sebagai bentuk feodalisme, seakan tak memahami makna adab dan takzim yang sesungguhnya.

Padahal, di situlah letak keindahan dunia pesantren. Di pesantren, santri tidak diajari untuk tunduk pada manusia, tetapi diajari untuk menundukkan ego di hadapan ilmu dan adab. Santri tidak menjadi budak gurunya, melainkan murid yang sadar bahwa keberkahan ilmu lahir dari penghormatan kepada guru. Itulah makna sejati dari ta’dzim, sebuah nilai yang kini mulai pudar di tengah masyarakat yang lebih mengagungkan kebebasan tanpa batas dibandingkan dengan sopan santun dan penghormatan.

Saya teringat Firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Namun sebelum ayat itu benar-benar dipahami oleh akal, pesantren telah menanamkannya di hati. Seorang santri yang menyapu halaman pondok, yang menyiapkan hidangan untuk gurunya, yang bangun di sepertiga malam untuk tahajud, mereka sesungguhnya sedang menjalani ayat itu dalam bentuk yang paling nyata.

Mereka belajar bahwa ilmu tidak hanya dicapai dengan membaca, tetapi juga dengan melayani (dalam konteks yang positif), menghormati, dan menundukkan diri. Karena siapa yang ingin tinggi derajatnya di sisi Allah, ia harus terlebih dahulu rendah hati di hadapan manusia, kurang lebih seperti itu saya memahami ayat itu.

Maka, jangan pernah menilai dunia pesantren dengan kacamata dunia luar. Sebab pesantren adalah dunia yang dibangun dengan cinta, kesederhanaan, dan keikhlasan. Di sanalah nilai-nilai kemanusiaan ditempa tanpa pamrih, di bawah bimbingan para kiai yang tidak hanya mengajarkan ayat, tapi juga meneladankan hidup.

Bale rombeng itu bukan sekadar tempat istirahat, ia adalah simbol kesabaran dan perjuangan. Dari sanalah lahir para ulama, pemimpin umat, dan orang-orang yang teguh menjaga nilai agama di tengah derasnya arus zaman.

Maka, jika ada yang mencibir dunia pesantren, biarlah dan tetap fokus pada keyakinan mu sebagai santri. Mereka hanya belum pernah merasakan nikmatnya menjadi santri, sekali lagi mereka belum merasakan nikmat duduk di bale rombeng sambil menunggu giliran mengaji, nikmat dimarahi karena lalai, dan nikmat mencium tangan guru dengan hati bergetar.

Sebab pesantren bukan sekadar tempat belajar, ia adalah jalan menuju kebijaksanaan.

Serang Banten, 5 Oktober 2025
(Penulis adalah salah satu Pendiri Himpunan Santri Banten Selatan)

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments