Sultan Ageng Tirtayasa: Simbol Perlawanan Banten terhadap Kolonialisme

Bagikan

Dalam sejarah Nusantara, nama Sultan Ageng Tirtayasa bukan hanya dikenal sebagai penguasa besar Kesultanan Banten, tetapi juga sebagai simbol keteguhan, kedaulatan, dan perlawanan terhadap kolonialisme Eropa. Ia adalah sultan yang tak hanya membangun kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga mempertahankan prinsip kemerdekaan di tengah tekanan politik dan infiltrasi dagang yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Belanda.

Perlawanan Sultan Ageng bukan semata konflik bersenjata, melainkan pertarungan ideologi dan harga diri bangsa. Di tengah kecamuk kolonialisasi awal, ia berdiri tegak sebagai benteng terakhir yang mempertahankan kedaulatan Banten bahkan ketika ia dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.

Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1651–1682) adalah putra dari Sultan Abu al-Ma‘ali Ahmad. Di bawah kepemimpinannya, Banten mencapai puncak kejayaan baik dalam bidang politik, militer, ekonomi, maupun keilmuan. Ia memperkuat sistem pertahanan, memperluas wilayah kekuasaan, dan menjalin hubungan dagang langsung dengan kekuatan internasional seperti Inggris, Prancis, Turki Utsmani, dan India.

Sultan Ageng juga membangun pusat pemerintahan baru di Tirtayasa, yang kemudian menjadi simbol kekuatan alternatif dari pusat kerajaan lama di Surosowan. Di bidang ekonomi, ia menolak monopoli VOC dan membuka pelabuhan Banten sebagai pelabuhan bebas (free port), yang membuatnya populer di kalangan pedagang internasional.

VOC melihat kebijakan Sultan Ageng sebagai ancaman besar terhadap kepentingan dagangnya. Sebagai tanggapan, VOC memulai strategi kolonial klasi,  memecah-belah kekuasaan dari dalam. Mereka menjalin hubungan dekat dengan putra Sultan Ageng, yakni Pangeran Haji (kelak dikenal sebagai Sultan Haji), yang mulai berseberangan dengan ayahnya dalam hal hubungan dengan Belanda.

Konflik antara Sultan Ageng dan VOC pun tak terhindarkan. Setelah upaya diplomasi tidak berhasil, Sultan Ageng memutuskan untuk menutup akses VOC dan menyerang benteng-benteng Belanda di sekitar Batavia. Ia juga melakukan mobilisasi militer besar-besaran yang sempat membuat VOC kewalahan. Namun, Belanda memiliki senjata yang lebih ampuh dari Meriam, politik devide et impera, atau adu domba.

Puncak tragedi sejarah terjadi ketika Sultan Haji, putra Sultan Ageng sendiri, meminta bantuan VOC untuk menggulingkan ayahnya. VOC menyambut tawaran ini dengan penuh antusias, karena mereka tahu bahwa kehancuran Banten akan lebih mudah dicapai dari dalam istana.

Pada tahun 1682, pasukan VOC bersama pendukung Sultan Haji berhasil mengalahkan kekuatan Sultan Ageng. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat dalam tahanan pada tahun 1692. Peristiwa ini menandai keruntuhan kedaulatan penuh Kesultanan Banten dan awal masuknya dominasi kolonial di wilayah barat Nusantara.

Sultan Ageng Tirtayasa bukan hanya tokoh masa lalu, tetapi cerminan dari perlawanan yang bermartabat. Ia mempertahankan prinsip bahwa perdagangan dan kerja sama internasional tidak boleh mengorbankan kedaulatan. Ia menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi dan politik tidak bisa dinegosiasikan dengan penjajahan yang dikemas dalam nama “dagang”.

Sayangnya, perlawanan itu justru dihentikan oleh pengkhianatan dari dalam. Sejarah ini menjadi pelajaran berharga bahwa kolonialisme tidak hanya datang dari luar, tetapi sering kali dipermudah oleh kelemahan dan konflik internal. Hari ini, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama universitas dan jalan di berbagai tempat. Namun, warisan intelektual dan keberaniannya menolak kolonialisme perlu terus digaungkan dalam pendidikan dan kesadaran kolektif.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments