Dakwah Estetika: Ketika Tampan Jadi Umpan

Bagikan

Beberapa tahun terakhir, jagat media sosial sering diramaikan oleh fenomena “udah ganteng paham agama” — para pria muda berpenampilan menarik yang menyampaikan dakwah, kutipan hadits, atau nasihat Islami dengan balutan estetika visual yang memukau. Banyak dari mereka menjadi viral, diundang ke berbagai acara, bahkan dijadikan idola baru oleh generasi muda. Tapi, yang menarik (dan memprihatinkan), fenomena ini perlahan mengarah pada industrialisasi dakwah—yakni ketika nilai dakwah diserap ke dalam mekanisme industri hiburan dan kapitalisme konten.

Secara positif, tentu fenomena ini membawa gairah baru dalam dakwah digital. Anak muda yang sebelumnya jauh dari kajian keislaman, mulai tertarik karena pendekatan yang ringan, relatable, dan tentu saja menarik secara visual. Tidak sedikit yang kemudian belajar lebih serius karena tertarik dari awal lewat konten semacam ini.

Namun, masalah muncul ketika penampilan menggantikan substansi. Ketika “kegantengan” menjadi daya tarik utama, bukan kedalaman ilmu atau keikhlasan niat, dakwah berisiko direduksi menjadi produk komoditas—bukan misi perbaikan umat. Para “public figure agama” menjadi seperti selebriti spiritual, dengan branding, endorsement, bahkan kontrak manajemen. Pesan-pesan agama bisa jadi dikemas hanya untuk viralitas, bukan kebenaran.

Lebih jauh lagi, industri ini menciptakan standar baru yang keliru: seolah-olah untuk bisa didengar, seorang dai harus tampan, muda, dan fotogenik. Maka mereka yang berilmu tapi tidak memenuhi standar “kamera-ready” perlahan tenggelam dari panggung dakwah publik. Ini tentu tidak adil dan bisa membahayakan arah perkembangan ilmu keislaman ke depan.

Bukan berarti kita harus anti terhadap visual atau media modern. Namun, penting bagi umat dan pelaku dakwah untuk tetap menjaga orientasi dan nilai. Media hanyalah alat, bukan tujuan. Kegantengan hanyalah bonus, bukan syarat. Dan popularitas bukanlah ukuran keberkahan.

Jika kita tak hati-hati, kita bisa terjebak dalam industri citra, bukan dakwah sejati. Yang dibutuhkan umat bukan sekadar sosok tampan paham agama, tapi orang berilmu yang menyampaikan kebenaran dengan ikhlas—baik tampan maupun tidak.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments