Oleh Repi Rizali-penulis adalah pengurus DPD HIMMA Lebak dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar

Narwala – Kenapa politik dinasti selalu mempertahankan kekuasaan politiknya? Ini adalah pertanyaan dasar yang tidak hanya harus dijawab akan tetapi juga harus dijelaskan secara sosiologis. Politik dinasti bertumpu pada dua dorongan utama yakni perlindungan atas privilese struktural dan impunitas atas dosa-dosa masa lalu, dalam perspektif Pierre Bourdieu, dinasti politik bekerja mempertahankan modal simbolik dan modal sosial yang telah dikumpulkan oleh keluarga mereka, kekuasaan bukan sekadar jabatan, melainkan warisan yang harus dipelihara layaknya kapital turun-temurun.
Kekuasaan menjadi benteng pelindung terhadap kemungkinan penuntutan, pengadilan, atau bahkan sekadar pengungkapan kesalahan yang pernah mereka lakukan saat menjabat. Maka mempertahankan kekuasaan adalah mempertahankan “zona aman” dari kemungkinan dipermalukan, dilucuti atau bahkan ditangkap, karena dengan mempertahankan kekuasaan mereka akan tetap memiliki akses langsung pada aparat penegak hukum, birokrasi, dan media.
Dinasti mempertahankan kekuasaan bukan demi pengabdian, melainkan demi kelangsungan struktur kuasa yang telah membuat mereka “setengah dewa” di hadapan rakyat. Keluarga dinasti memahami bahwa jabatan bukan semata-mata sarana pelayanan publik,melainkan benteng untuk melindungi diri dari konsekuensi akibat dosa-dosa politik masa lalu dan untuk melanggengkan dominasi. Keluarga dinasti juga menjadikan jabatan politik sebagai mesin reproduksi kapital, modal politik diwariskan melalui struktur kekuasaan lokal, modal ekonomi dijaga lewat jaringan bisnis dan rente proyek negara, dan modal simbolik diciptakan lewat glorifikasi media serta koneksi dengan elite.
Selain itu, jabatan adalah lahan ekonomi. Dalam sistem birokrasi patrimonial, jabatan publik dijadikan ladang basah untuk memperkaya keluarga besar. Dari proyek-proyek pemerintah, pengangkatan ASN, penunjukan rekanan tender, hingga penguasaan lahan produktif, semuanya dikendalikan oleh satu klan yang berkuasa. Seperti kata James C. Scott dalam “Corruption, Machine Politics, and Political Development”, sistem seperti ini menciptakan logika “akses adalah kekayaan” dan hanya mereka yang dekat dengan kekuasaanlah yang bisa memperoleh kekayaan tersebut.
Tidak mengherankan jika di banyak wilayah yang dikuasai oleh dinasti politik, keluarga penguasa hampir selalu kaya raya dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari warga biasa. Status tersebut bukan karena prestasi, melainkan karena akumulasi rente dan manipulasi sumber daya negara. Bahkan dalam masyarakat desa atau daerah terpencil, keluarga dinasti sering kali diperlakukan seperti bangsawan, sementara warga lainnya tunduk dalam relasi yang menyerupai feodalisme baru.
Dalam konteks ini, dinasti politik menciptakan kasta sosial, mereka adalah elite yang dianggap istimewa bukan karena kualitas, tetapi karena warisan kuasa. Oleh karenanya, mempertahankan kekuasaan menjadi keharusan bagi keluarga dinasti, bukan hanya untuk menjaga kekayaan dan kehormatan, tapi juga untuk menghindari pengadilan sejarah.
Kemudian, pertanyaan lain muncul, apa bahaya politik dinasti dan bagaimana cara menghancurkanya? Bahaya politik dinasti bukan sekadar soal konsentrasi kekuasaan. Ia menutup pintu meritokrasi, membunuh regenerasi politik, dan menciptakan jurang sosial yang dalam antara rakyat dan penguasa. Dinasti politik berkontribusi pada matinya akal sehat kolektif dan stagnasi kebijakan publik, karena pengambilan keputusan lebih didasarkan pada kepentingan pelestarian kekuasaan daripada perbaikan nasib rakyat.
Lebih tragis lagi, dinasti menci
ptakan loyalis yang menjadi antek, alat, sekaligus perpanjangan tangan dalam membodohi publik. Mereka ini, dalam bahasa Karl Marx, adalah “kaum lumpenproletariat politik” lapisan masyarakat yang diperalat dan dimobilisasi bukan untuk kemajuan bersama, tapi demi mempertahankan struktur penindasan. Para loyalis ini harus dipandang sebagai bagian dari sumber permasalahan rakyat dan problem structural yang harus dilawan secara kolektif,
Perlawanan terhadap politik dinasti harus dimulai dari penghancuran ilusi. Rakyat harus menyadari bahwa mereka hidup dalam konstruksi sosial yang dirancang untuk membuat mereka miskin, bodoh, tunduk, merasa kecil, lemah, dan tidak berdaya. Kesadaran kelas adalah tahap pertama dalam revolusi sosial. “Kelas yang tertindas adalah kekuatan revolusioner bila ia sadar akan penindasannya.” Oleh karena itu, perlawanan harus diarahkan untuk membongkar kepalsuan representasi politik dinasti, rakyat harus lantang menyebut bahwa mereka bukan pelayan rakyat, melainkan tuan atas penderitaan rakyat.
Rakyat tidak bisa diselamatkan dengan kompromi terhadap dinasti.
Maka, melawan dinasti bukanlah pilihan politis semata, tapi keharusan moral, sejarah, dan kultural. Upaya pembebasan rakyat bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan bagi yang masih berpikir, Dari hegemoni menuju revolusi, rakyat harus menyalakan bara perlawanan, menjadikan kesadaran sebagai senjata, dan mengorganisasi diri untuk menghancurkan kutukan politik keturunan. Karena hanya dengan kehancuran dinasti, rakyat bisa selamat.