Oleh: Nadiah – Penulis adalah Wakil ketua umum MATADEWA dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar/BRIMA
Narwala– Di tengah krisis kepedulian yang kian nyata dari Pemerintah Kabupaten Lebak terhadap kondisi sosial, ekonomi, Pendidikan, dan lingkungan masyarakatnya, muncul sebuah bara semangat yang tak padam yakni gerakan yang dilakukan oleh sekumpulan mahasiswa yang terhimpun dalam sebuah organisasi Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam (MATADEWA). Berakar dari kecamatan paling selatan di Kabupaten Lebak, yakni Wanasalam, MATADEWA hadir bukan sekadar sebagai kelompok intelektual kampus, melainkan sebagai agen perubahan sosial yang menjadikan pengabdian sebagai dasar perjuangan.
Lahir dari kesadaran historis dan situasional bahwa masyarakat Wanasalam selama ini termarginalkan dari perhatian pembangunan, MATADEWA mengartikulasikan perjuangan dalam aksi-aksi nyata: advokasi, edukasi, hingga aksi massa yang konsisten mengawal berbagai persoalan yang dihadapi rakyat. Manifesto MATADEWA sederhana namun dalam yakni “Jika Pengabdian Menjadi Dasar Perjuangan Maka Dengan Segera Pergerakan Akan Berbuah Perubahan.”
MATADEWA: Pengabdian sebagai Basis Gerakan
Berbeda dari organisasi mahasiswa yang sekadar retoris dan elitis, MATADEWA membangun fondasi gerakannya dari realitas sosial masyarakat Wanasalam wilayah pesisir yang menyimpan potensi besar, namun minim sentuhan kebijakan yang pro-rakyat. Dalam berbagai inisiatifnya, MATADEWA hadir di tengah Masyarakat. Melakukan pendidikan kritis di kampung-kampung, membantu masyarakat menyusun aspirasi kolektif, bahkan menjadi jembatan antara suara rakyat dan elite kekuasaan yang selama ini tuli.
Gerakan ini bukan hanya reaktif terhadap ketimpangan, tetapi juga proaktif dalam membentuk kesadaran politik rakyat. Bagi MATADEWA, pengabdian bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan sebuah strategi politis untuk membangkitkan daya kritis masyarakat yang selama ini dibungkam oleh kemiskinan struktural dan apatisme birokrasi.
Dialektika Perlawanan: Antara Kesadaran dan Tindakan
Perlawanan yang dibangun MATADEWA tidak lahir dari kemarahan sesaat, melainkan dari kesadaran historis dan dialektika sosial. Mereka memahami bahwa perubahan tidak datang dari belas kasihan elit, melainkan dari tekanan akar rumput yang terorganisir. Dan Kabupaten Lebak yang selama ini dikenal dengan pembangunan yang timpang dan minim transparansi, perlawanan menjadi bentuk wajar sekaligus mendesak.
MATADEWA telah membuktikan konsistensinya dalam mengawal isu-isu strategis, mulai dari aksi jalan kaki sejauh hampir 100 kilometer demi pembangunan insfrastruktur, penolakan tambak udang yang merusak ekosistem pesisir, pengawalan terhadap kasus ketidakadilan agraria, hingga protes terhadap kebijakan daerah yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil
demi investasi yang tidak berpihak. Di tengah semua itu, pemerintah daerah lebih sering memilih diam atau bahkan represif.
Ketika Nurani Pemerintah Padam
Apa yang lebih menyedihkan dari kemiskinan adalah ketika nurani kekuasaan tak lagi berpihak pada rakyatnya. Pemerintah Kabupaten Lebak, dalam berbagai momentum krisis maupun Pembangunan kerap menunjukkan sikap abai terhadap penderitaan masyarakatnya. Bencana ekologis, kesenjangan pendidikan, buruknya layanan kesehatan, hingga minimnya infrastruktur dasar di Wanasalam adalah potret buram dari sebuah pemerintahan yang kehilangan arah moral.
Di sinilah MATADEWA mengambil peran sebagai oposisi moral. Bukan karena ingin berkuasa, tetapi karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari mereka yang memegang kuasa namun menutup mata. Dalam setiap aksinya, MATADEWA bukan hanya membawa tuntutan, tetapi juga membawa harapan bahwa suara rakyat masih mungkin diperjuangkan, selama ada yang berani bersuara.
Bara yang Tak Padam
MATADEWA bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah representasi kesadaran kolektif bahwa perubahan hanya lahir dari keberanian melawan ketidakadilan. Di tengah padamnya nurani pemerintah, bara perjuangan MATADEWA menyala sebagai harapan. Pengabdian yang dilakukan bukan hanya sekedar basa-basi akademik, melainkan api yang membakar ketidakadilan dan membangun jalan menuju masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat.
Dan selama ada bara yang menyala, perlawanan tak akan padam. Sebab pengabdian yang tulus akan selalu menemukan jalannya menuju perubahan, karena Jika Pengabdian Menjadi Dasar Perjuangan Maka Dengan Segera Pergerakan Akan Berbuah Perubahan.