PRAGMATISME DALAM GERAKAN MAHASISWA: VIRUS BARU DALAM TUBUH PERLAWANAN

Bagikan

Oleh: Repi RIzali, Penulis merupakan pengurus DPD HIMMA Lebak dan Peneliti BRIMA (Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar)

Narwala – Gerakan mahasiswa telah lama menempati posisi historis sebagai agen perubahan sosial dan moral force dalam lanskap politik Indonesia. Sejarah mencatat peran sentral mahasiswa dalam berbagai momentum politik, mulai dari kejatuhan rezim Orde Lama, perlawanan terhadap Orde Baru, hingga gelombang reformasi 1998. Namun, dalam dua dekade terakhir, karakteristik gerakan mahasiswa mengalami pergeseran. Gerakan yang dahulu berlandaskan pada ideologi dan komitmen perjuangan kelas kini makin dikaburkan oleh kepentingan pragmatis yang bersifat instrumental. Gerakan mahasiswa, dalam banyak kasus, tidak lagi mengakar pada kesadaran kritis, melainkan telah dikomodifikasi menjadi ruang produksi citra, akses politik, dan mobilisasi sumber daya simbolik demi kepentingan pribadi maupun kelompok.


Kondisi ini dapat dijelaskan melalui teori hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Dalam Prison Notebooks (1971), Gramsci mengemukakan bahwa dominasi ideologis kelas penguasa tidak semata diperoleh melalui represi koersif, tetapi melalui proses penciptaan “persetujuan” dari kelompok subordinat. Mahasiswa yang dalam pandangan Gramsci semestinya menjadi intelektual organik yang berpihak pada kelas subaltern justru mengalami proses kooptasi dalam kerangka hegemonik. Mereka terserap dalam struktur dominan dan memproduksi ulang ideologi kekuasaan melalui simbol-simbol perlawanan yang telah kehilangan substansi.


Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (2005) menegaskan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan. Ia menulis:
“Education either functions as an instrument to bring about conformity to the logic of the present system, or it becomes the means by which men and women critically and creatively engage to transform the world.” (Freire 2005)
Jika gerakan mahasiswa tidak berangkat dari kesadaran kritis, maka yang tercipta hanyalah kesadaran semu. Mereka secara aktif mereproduksi sistem penindasan sambil mengklaim sedang menentangnya. Inilah yang disebut Freire sebagai bentuk dehumanisasi dalam praksis politik: ketika tindakan dianggap progresif, padahal pada dasarnya konservatif dan rekreatif.


Frantz Fanon dalam kerangka pascakolonial memberikan kritik tajam terhadap kelas terdidik yang berpaling dari perjuangan rakyat. Dalam The Wretched of the Earth (2004), Fanon menyatakan:
“Each generation must, out of relative obscurity, discover its mission, fulfill it, or betray it.” (Fanon 2004)
Mahasiswa pragmatis dapat dikategorikan sebagai generasi yang gagal menemukan misinya. Alih-alih menjadi kekuatan transformatif, mereka terjebak dalam dinamika oportunistik. Orasi tidak lagi menjadi artikulasi kepentingan rakyat, melainkan sarana pencitraan. Demonstrasi kehilangan makna perlawanan dan berubah menjadi sekadar koreografi simbolik.


Fenomena ini juga dijelaskan melalui konsep simulakra dari Jean Baudrillard. Dalam Simulacra and Simulation (1994), Baudrillard menguraikan bahwa dalam masyarakat pascamodern, tanda dan simbol telah menggantikan realitas, menciptakan “hiperrealitas” yang lebih dominan daripada kebenaran itu sendiri. Gerakan mahasiswa pragmatis beroperasi dalam logika simulacra aktivisme yang lebih menekankan pada representasi visual dan performatif daripada esensi perjuangan. Realitas sosial rakyat tergantikan oleh visualisasi retoris yang hanya relevan dalam ekosistem media sosial.
Dampaknya sangat serius, gerakan mahasiswa kehilangan legitimasinya di mata publik. Rakyat tidak lagi melihat mahasiswa sebagai representasi dari kepentingan kelas bawah, melainkan sebagai aktor politik baru yang juga berpotensi korup dan manipulatif. Gerakan mahasiswa yang dijalankan tanpa kesadaran ideologis dan keberpihakan struktural justru memperkuat status quo. Sebagaimana ditegaskan oleh Gramsci, ketika intelektual gagal menempatkan dirinya sebagai bagian dari perjuangan rakyat, ia tidak lebih dari reproduktor ideologi penguasa yang terselubung.


Sudah saatnya ditegaskan bahwa bentuk-bentuk gerakan mahasiswa yang dijalankan semata-mata untuk meraih keuntungan pribadi maupun kelompok merupakan bentuk delegitimasi terhadap esensi historis gerakan itu sendiri. Gerakan semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai radikal maupun progresif, ia hanyalah instrumen kekuasaan yang beroperasi di bawah kamuflase simbolik perlawanan. Dalam konteks ini, urgensi untuk mereorientasi kembali gerakan mahasiswa pada kerangka ideologis yang berpihak kepada kelompok tertindas menjadi mutlak. Menjadi mahasiswa semestinya identik dengan penguatan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar sarana untuk akumulasi modal simbolik dan pengaruh politis.


Eksistensi mahasiswa sebagai subjek perubahan seharusnya diwujudkan melalui praksis transformatif, bukan komodifikasi isu. Sebab tidak ada bentuk pengkhianatan moral yang lebih rendah daripada menjadikan penderitaan rakyat sebagai pijakan menuju akumulasi kekuasaan..

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments