Oleh: Repi Rizali-penulis adalah pengurus DPD HIMMA Lebak dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA)
Dinasti politik merupakan bentuk dari hegemoni kekuasaan yang Antonio Gramsci definisikan sebagai dominasi yang bertahan melalui konsensus budaya dan ideologis, bukan semata dominasi koersif (Gramsci, 1971). Dalam konteks dinasti politik, keluarga penguasa membangun narasi hegemonik bahwa pewarisan kekuasaan secara turun-temurun adalah sesuatu yang natural dan sah, sehingga mengkonstruksi kesadaran masyarakat yang menerima oligarki sebagai tatanan politik normal. Dengan demikian, politik dinasti bukan hanya soal penguasaan formal, melainkan dominasi yang mengakar di ranah ideologi.
Demokrasi substansial menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan (Dahl, 1989). Namun, politik dinasti menutup ruang partisipasi rakyat dan menjadikan kedaulatan rakyat sebagai “fenomena semu.” Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa kekuasaan dijaga melalui monopoli modal sosial, ekonomi, dan simbolik oleh elite tertentu (Bourdieu, 1986). Dinasti politik menguasai modal tersebut secara terpusat, sehingga menghalangi akses rakyat biasa untuk berkompetisi secara setara dalam arena politik. Ini menghasilkan distorsi demokrasi dan “pengkhianatan” terhadap kedaulatan rakyat karena kekuasaan hanya berputar dalam lingkaran keluarga dinasti, dari DEMOKRASI menjadi DINASTIKRASI.
Narasi liberal tentang hak politik universal “setiap warga berhak mencalonkan dan dicalonkan” sering dipakai sebagai justifikasi retoris politik dinasti. Namun, Michel Foucault menegaskan bahwa kekuasaan bekerja melalui “disiplin dan pengaturan mikrorelasi dalam masyarakat” (Foucault, 1977) yang menciptakan batas-batas sosial dan politis yang tersamar. Dalam praktiknya, politik dinasti mengatur mekanisme patronase dan akumulasi modal yang secara sistemik menghalangi calon independen. Oleh karenanya, hak politik dalam tatanan dinasti hanya bersifat formal tanpa memberikan kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi secara setara sehingga klaim universalitas hak politik hanyalah “retorika demokrasi”.
Menariknya adalah, masih ada pihak-pihak yang “loyal” terhadap pelaku politik dinasti. Maka, loyalitas terhadap dinasti bukan semata-mata pilihan rasional, melainkan hasil dari dominasi simbolik dan hubungan patron-klien. Erving Goffman menjelaskan bahwa individu “melakukan performance” sosial yang berfungsi untuk melindungi posisi dan identitas mereka dalam struktur sosial (Goffman, 1959). Dalam politik dinasti, loyalitas tersebut merupakan “performance” yang dipaksakan oleh kebutuhan pragmatis untuk mengamankan perlindungan dan akses sumber daya. Hal ini sejalan dengan teori patronase yang menyatakan bahwa hubungan sosial bersifat asimetris dan reproduktif (Scott, 1972). Oleh sebab itu, pendukung dinasti sebenarnya terperangkap dalam struktur subordinasi yang mereka legitimasikan secara tidak sadar.
Para pendukung dinasti dapat dikategorikan sebagai “budak politik,” yang mengorbankan rasionalitas dan martabat demi kelangsungan hidup sosial dan ekonomi yang tergantung pada sistem patron-klien. Kesetiaan ini adalah produk dominasi simbolik dan ketergantungan psikologis yang melanggengkan status quo oligarki. Seseorang menghambakan diri karena memiliki ketakutan bahwa dirinya akan kehilangan akses, keuntungan, dan keamanan sosial yang disediakan oleh jaringan dinasti. Mereka rela menjadi penjilat elit yang mengorbankan kepentingan bersama demi status sosial dan keuntungan pribadi. Mereka yang bangga dan loyal terhadap dinasti tidak lain adalah pengkhianat kemajuan dan keadilan sosial, yang secara sadar membantu melanggengkan sebuah sistem yang menindas, memiskinkan, dan membodohi rakyat banyak.