Oleh: Aceng Murtado (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar)

Pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin (UIN SMH) Banten periode 2025–2029 adalah momentum strategis yang tidak boleh dimaknai sekadar sebagai rutinitas administratif lima tahunan. Ia merupakan penentu arah, strategi, dan visi jangka panjang lembaga pendidikan tinggi Islam ini. Di tengah dinamika sosial, tantangan ideologis, dan perkembangan teknologi, kampus ini dituntut tidak hanya hadir, tetapi juga memberi arah bagi pembangunan masyarakat Muslim Indonesia, khususnya di Banten.
Sebagai satu-satunya Universitas Islam Negeri di Provinsi Banten, keberadaan UIN SMH Banten bukan hanya simbol kehadiran negara di bidang pendidikan Islam, melainkan juga representasi dari wajah intelektual dan kultural masyarakat Banten yang agamis, plural, dan bersejarah panjang dalam perjuangan Islam.
Universitas ini bukan berdiri secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses panjang, cita-cita besar, dan dedikasi para pendiri serta tokoh-tokoh Muslim di Banten. Didirikan pertama kali pada Oktober 1961 dengan nama Universitas Maulana Yusuf, kampus ini hadir sebagai respon terhadap kebutuhan pendidikan tinggi berbasis Islam di tanah jawara. Nama Maulana Yusuf, sultan ke-2 Banten yang dikenal sebagai penyebar Islam, menjadi simbol awal misi dakwah keilmuan kampus ini.
Transformasi penting terjadi pada 7 April 2017 ketika Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2017 yang meresmikan perubahan status dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Nama ini adalah kehormatan besar. Sultan Maulana Hasanuddin bukan hanya sultan pertama Kesultanan Banten, tetapi juga seorang ulama, pemimpin, dan simbol perjuangan Islam di Nusantara.
Karena itu, identitas UIN SMH Banten tidak dapat dilepaskan dari akar sejarah dan budaya Banten itu sendiri. Islam yang moderat, berakar pada pesantren, bersanding dengan adat, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Sebagai kampus Islam negeri, UIN SMH Banten bukan sekadar institusi pendidikan teologi. Ia adalah ruang interdisipliner yang mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman, sains, sosial, teknologi, dan budaya. Dalam kerangka ini, universitas memiliki tugas penting membentuk generasi yang cerdas secara intelektual, dewasa secara spiritual, dan matang secara sosial.
UIN juga harus menjadi benteng moderasi beragama. Di tengah derasnya arus intoleransi, polarisasi identitas, dan ideologi ekstrem. Kampus ini harus berdiri tegak sebagai penjaga nilai-nilai wasathiyah Islam yaitu adil, seimbang, dan terbuka. Ini bukan hanya tugas akademik, tetapi juga panggilan moral dan kultural.
Kampus ini harus mampu menjadi laboratorium sosial-keagamaan yang menghasilkan riset, inovasi, dan karya yang menjawab persoalan-persoalan kontemporer masyarakat Banten, Indonesia, bahkan dunia Islam.
Karakteristik Rektor UIN SMH BANTEN yang Dibutuhkan
Kepemimpinan seorang rektor tidak cukup hanya menguasai tata kelola administratif dan birokrasi kampus. Ia juga dituntut menjadi aktor strategis dalam membawa universitas ke arah yang lebih maju, berdaya saing, serta berakar kuat pada identitas lokal dan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, ada tiga karakter utama yang harus dimiliki oleh calon rektor ke depan:
Pertama, Berbasis Visi Keilmuan dan Globalisasi
Rektor ideal adalah sosok akademisi yang memiliki visi keilmuan yang kuat, terbuka terhadap perkembangan global, dan aktif dalam membangun jejaring internasional. Ia harus memahami peta globalisasi pendidikan tinggi, terutama dalam konteks Islam dan ilmu-ilmu interdisipliner. Bukan hanya soal akreditasi, tetapi juga keberanian membawa UIN SMH Banten sebagai pusat rujukan kajian Islam di Nusantara dan mata dunia.
Rektor dengan karakter ini akan mendorong terciptanya budaya riset yang produktif, kolaborasi dengan universitas luar negeri, serta memfasilitasi pertukaran pelajar dan dosen ke mancanegara. Ia mampu menjadikan kampus sebagai ruang transnasional bagi pertukaran ide, nilai, dan kontribusi keilmuan umat Islam dalam skala global. Selain itu, ia juga mendorong pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan dan administrasi kampus, memodernisasi sistem akademik, serta mengintegrasikan sains, teknologi, dan nilai-nilai keislaman secara kreatif.
Kedua, Berakar pada Budaya Banten dan Keislaman Lokal
UIN SMH Banten tidak bisa dilepaskan dari akar budaya dan tradisi Islam Banten. Maka, sosok rektor ke depan haruslah orang yang memahami Banten tidak secara artifisial atau sekadar administratif, melainkan secara historis, sosiologis, dan kultural. Figur yang lahir dan tumbuh di Banten, yang mengenyam pendidikan di pesantren lokal, atau aktif dalam dinamika sosial keagamaan masyarakat Banten, memiliki keunggulan tersendiri.
Rektor dengan karakter ini tidak hanya paham kebutuhan mahasiswa Banten secara psikologis dan sosiologis, tetapi juga mampu merespon dinamika masyarakat sekitar kampus dengan bijak. Ia paham bagaimana cara berkomunikasi dengan ulama-ulama lokal, tokoh adat, dan komunitas pesantren. Dengan begitu, kampus tidak terasing dari masyarakatnya, tetapi menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan keagamaan, sosial, dan kultural Banten itu sendiri.
Ketiga, Mampu Merawat Keberagaman Sosial-Keagamaan
UIN SMH Banten berada di wilayah yang plural dan majemuk. Mahasiswanya berasal dari berbagai latar belakang organisasi keagamaan seperti Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dll. Dalam konteks ini, seorang rektor harus memiliki kemampuan komunikasi lintas identitas keagamaan dan sosial. Ia harus menjadi pengayom dan pemersatu, bukan malah menjadi sumber konflik atau membentuk polarisasi.
Rektor dengan karakter ini membuka ruang dialog terbuka, membangun budaya toleransi, serta menciptakan lingkungan akademik yang terbuka dan harmonis. Ia mampu menjamin bahwa semua kelompok merasa aman dan diterima di dalam kampus, tanpa kehilangan identitas keagamaannya. Dalam praktiknya, ia bisa mendorong adanya forum lintas ormas Islam, kegiatan moderasi beragama, serta keterlibatan aktif kampus dalam isu-isu kebangsaan dan perdamaian.
Rektor semacam ini bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga sosok visioner yang mampu merangkul, menengahi, dan memperkuat kohesi sosial dalam kehidupan kampus. Ia melihat keberagaman bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang harus dirawat untuk melahirkan generasi intelektual Muslim yang terbuka dan solutif.
Mahasiswa dan Alumni Sebagai Pilar Transformasi Sosial
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten tidak akan besar tanpa pemberdayaan mahasiswanya. Mahasiswa bukan sekadar pelengkap statistik atau kuantitas akademik, melainkan jiwa dan dinamika utama kampus. Kepemimpinan kampus harus mendorong mahasiswa untuk menjadi agen perubahan. Mereka bukan hanya terampil dalam retorika dakwah, ceramah, atau khutbah, tetapi juga dalam membaca realitas sosial, memahami dinamika teknologi digital, mengembangkan kewirausahaan, serta menjalin diplomasi antarbudaya.
Mahasiswa UIN harus dibentuk dengan karakter kepemimpinan yang kuat, independen, dan visioner. Mereka perlu dibekali bukan hanya dengan ijazah dan transkrip nilai, tetapi dengan arah hidup yang jelas, kemampuan berpikir kritis, serta keberanian untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan keberpihakan pada rakyat. Kampus harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh dan menyuarakan kebenaran, tanpa tekanan maupun intervensi dari rektorat atau birokrasi kampus.
Gerakan mahasiswa harus juga independen dan otonom. Tidak boleh misalnya rektor atau jajaran pimpinan kampus mengintervensi, membungkam, atau membatasi ruang gerak mahasiswa. Mahasiswa adalah penjaga nurani kampus dan masyarakat. Ketika mahasiswa bergerak dalam ranah sosial, politik, dan budaya, itu adalah ekspresi dari tanggung jawab moral dan intelektual yang telah mereka pelajari di ruang-ruang akademik.
Demikian pula, alumni UIN bukan sekadar data administrasi atau simbol kebanggaan belaka. Mereka adalah warisan hidup kampus, sekaligus representasi kualitas institusi di masyarakat luas. Alumni harus dirangkul dan diberdayakan secara jelas dan punya arah. Rektor yang kuat akan membangun sinergi dengan alumni dari berbagai latar belakang. Baik aktivis dakwah, pejabat pemerintahan, pelaku bisnis, jurnalis, akademisi atau dosen dll.
Lebih dari itu, kampus juga berkewajiban menjamin kualitas dan masa depan alumni. Ini tidak cukup hanya dengan seremoni wisuda. Seorang alumni harus dapat merasa bangga dan terjamin, baik dalam sisi keilmuannya maupun dalam kesiapan menghadapi dunia kerja. UIN harus menyediakan ekosistem yang mendukung alumni untuk terus tumbuh dengan jejaring kerja dan pelatihan pasca-kampus. Karena Alumni, bukan hanya produk kampus, mereka adalah mitra strategis yang menentukan reputasi kampus di dunia yang rumit ini.
Dengan memberdayakan mahasiswa secara utuh dan menguatkan peran alumni secara nyata, UIN SMH Banten tidak hanya akan tumbuh sebagai institusi akademik, tetapi juga akan menjelma sebagai motor transformasi sosial yang signifikan di Banten, Indonesia, dan bahkan dunia Islam.
Penutup
Pemilihan Rektor UIN SMH Banten 2025–2029 bukan sekadar mengganti figur, tetapi memutuskan arah peradaban kampus ini. Siapakah yang layak memimpin universitas ini?
Jawabannya adalah seseorang yang visioner dalam ilmu, berakar pada tanah Banten, berpijak pada sejarah perjuangan, dan membuka cakrawala ke masa depan.
UIN SMH Banten telah hadir sejak 1961, tumbuh dalam perjuangan umat Islam, dan kini berada di persimpangan strategis. Dengan kepemimpinan yang tepat yang bisa memahami karakter lokal, mengglobalkan wawasan, dan merangkul semua lapisan. Maka, UIN SMH Banten akan melesat menjadi pusat keilmuan Islam yang unggul, relevan, dan membanggakan.
Dari tanah jawara, dari masyarakat agamis yang rendah hati dan terbuka, dari jantung peradaban Islam di Nusantara, UIN SMH Banten akan melangkah menuju masa depan yang lebih cerah.