MENUMBANGKAN DINASTI DAN JALAN PANJANG REVOLUSI

Bagikan

Oleh: Repi RIzali, penulis adalah pengurus DPD HIMMA Lebak, dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar/BRIMA

narwala.idRevolusi bukanlah ledakan sesaat. Ia adalah akumulasi dari luka, kemarahan, dan kesadaran yang menumpuk sepanjang waktu. Setiap tirani, setiap dinasti yang menindas rakyatnya, tidak pernah tumbang dalam semalam. Mereka runtuh secara perlahan, digerogoti oleh perlawanan kecil yang konsisten, oleh suara-suara kebenaran yang menolak bungkam, oleh generasi yang memilih menjadi duri dalam daging kekuasaan.


Sejarah penuh dengan pelajaran ini. Dinasti Qing di Tiongkok yang bertahan selama dua abad, akhirnya tumbang oleh gerakan revolusioner yang lahir dari kaum muda, petani, dan intelektual yang tertindas. Di Prancis, monarki absolut tumbang setelah puluhan tahun ketidakpuasan sosial, kelaparan massal, dan pemikiran radikal berkembang di bawah tanah. Kekaisaran Rusia sebelum Revolusi Bolshevik menindas rakyat selama ratusan tahun. Tapi kekuasaan itu akhirnya tumbang oleh keberanian mereka yang memilih melawan, meski harus dihukum, dibuang, bahkan dibunuh. Begitu juga dengan kediktatoran Soeharto yang berkuasa lebih dari tiga dekade di Indonesia, bukan dihancurkan oleh satu ledakan massa, tetapi oleh akumulasi perlawanan, dari mahasiswa hingga rakyat biasa, yang menolak diam terhadap ketidakadilan.


Kita tidak boleh terjebak pada euforia perubahan instan. Justru di tengah panjang dan berkeloknya jalan revolusi, penting untuk meneguhkan posisi moral dan sejarah kita. Menjadi bagian dari perlawanan bukan hanya soal sikap politik hari ini ia adalah warisan identitas yang akan hidup dalam memori kolektif anak cucu kita. Karena pada akhirnya, sejarah akan bertanya, di sisi mana kita berdiri? Apakah kita bagian dari mereka yang melawan ketidakadilan, atau kita justru menjadi budak kekuasaan, pelayan dinasti, dan kaki tangan penindasan? Anak cucu kita akan membaca nama-nama kita, menelusuri jejak-jejak kita, dan bertanya “Mengapa ayahmu atau kakekmu membela Dinasti?”


Anak cucu kita juga akan bertanya, “Apa yang kau lakukan saat rakyat diinjak oleh satu keluarga yang tamak?” Dan jika jawabannya adalah, “Ayahmu atau kakekmu memilih diam, atau malah membela,” maka niscaya nama kita akan jadi aib yang memalukan bagi seluruh keturunan.


Sebaliknya, jika kita memilih berdiri meski disingkirkan, dikucilkan, atau dikorbankan kita sedang menuliskan nama kita dalam daftar mereka yang layak dikenang. Karena dalam setiap revolusi, hanya dua jenis manusia yang dikenang Sejarah, mereka yang melawan atau mereka yang khianat. Kita tidak bisa menipu sejarah. Kita juga tidak bisa bersembunyi dari moralitas. Ketika seseorang memilih diam atau bahkan ikut menikmati remah kekuasaan dari meja dinasti, ia sedang menanamkan kehinaan pada nama keluarganya sendiri.

Sebaliknya, mereka yang memilih jalan panjang perlawanan, meski penuh risiko dan pengorbanan, sedang mewariskan kehormatan yang akan dikenang.


Dalam perspektif Herbert Marcuse, kaum tertindas bukan hanya korban struktur, tapi agen perubahan yang memiliki kekuatan untuk menolak “masyarakat represif satu dimensi”. Dinasti politik adalah representasi dari tatanan satu dimensi itu yang mengatur segalanya demi melanggengkan kekuasaan, dengan membungkam segala bentuk perbedaan, kritik, dan idealisme. Melawan dinasti berarti melawan logika penindasan yang menyamar dalam bentuk kekuasaan “keluarga”.


Revolusi, dalam pengertian sejatinya, bukan sekadar mengganti orang, tetapi mengganti sistem. Dan sistem ini hanya akan runtuh jika cukup banyak orang berani berdiri di seberangnya, meski dihina, meski perlahan. Sebab waktu selalu berpihak pada mereka yang benar. Mari kita ukir nama kita dalam sejarah bukan sebagai penjilat dinasti, tetapi sebagai martir kebenaran yang tak tunduk pada arogansi kekuasaan.

Jangan sampai nama kita absen dari catatan para pejuang. Sebab sekali kita memilih diam, kita sedang menulis takdir hina bagi keturunan kita. “Dalam hidup, seorang harus memilih, menjadi abu atau menjadi bara. Menjadi pecundang atau pejuang.”

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments