Oleh: Agus JB

Krisis iklim adalah panggilan pertobatan global. Ini bukan hanya soal mengganti plastik dengan tas kain atau menanam pohon setahun sekali. Ini tentang perubahan cara pandang—dari melihat alam sebagai objek eksploitasi menjadi ciptaan Tuhan yang suci dan harus dijaga dengan cinta
narwala.id – Krisis iklim dan kerusakan lingkungan bukan sekadar isu ilmiah atau ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi moral dan spiritual umat manusia. Di tengah meningkatnya frekuensi bencana ekologis—banjir bandang, kekeringan ekstrem, suhu global yang melonjak, polusi udara, hingga kepunahan spesies—muncul pertanyaan besar: di mana posisi agama dalam merespons situasi ini?
Sudah saatnya kita menggali kembali nilai-nilai keagamaan sebagai sumber etika ekologis. Ajaran agama-agama besar dunia pada dasarnya mengajarkan harmoni antara manusia dan alam. Sayangnya, nilai-nilai luhur itu kerap terpinggirkan di tengah arus modernitas yang mendewakan eksploitasi sumber daya tanpa batas.
Manusia Sebagai Khalifah
Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) menempatkan manusia sebagai penjaga ciptaan, bukan sebagai penguasa mutlak. Allah memberi manusia amanah untuk memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Al-Qur’an dalam QS. Al-A’raf ayat 56 mengingatkan dengan tegas: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya…” Ini menunjukkan bahwa tindakan merusak lingkungan tidak hanya salah secara ekologis, tapi juga menyimpang dari perintah Tuhan.
Namun, dalam praktiknya, kita melihat kontradiksi yang mencolok. Budaya konsumtif, kerakusan korporasi, dan pembiaran pemerintah terhadap eksploitasi alam telah menjadikan manusia sebagai faktor utama kerusakan planet ini. Padahal, apabila nilai-nilai agama benar-benar dihayati, seharusnya muncul kesadaran bahwa setiap pohon yang ditebang sembarangan, setiap sungai yang dicemari, dan setiap makhluk yang dibunuh demi kepentingan sesaat adalah bentuk pelanggaran spiritual.
Perspektif Agama
Agama Kristen juga memberikan dasar yang kuat untuk tanggung jawab ekologis. Dalam Kitab Kejadian, manusia diberikan kuasa atas ciptaan, namun itu adalah kuasa untuk merawat, bukan menguasai secara sewenang-wenang. Paus Fransiskus, dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), menyebut bumi sebagai “rumah kita bersama” yang sedang berada dalam krisis. Ia menyerukan pertobatan ekologis dan mengajak seluruh umat manusia untuk mengubah pola hidup yang merusak bumi. Ini adalah seruan yang sangat relevan di era saat ini.
Begitu pula dalam ajaran Hindu dan Buddha, alam dipandang sebagai bagian dari kesatuan spiritual. Konsep karma dan dharma mendorong manusia untuk hidup seimbang dan selaras dengan lingkungan. Mengganggu alam berarti mengganggu keseimbangan kosmik dan spiritual, bukan sekadar ekosistem fisik. Dalam banyak praktik ritual dan kehidupan sehari-hari, penghormatan terhadap gunung, sungai, hewan, dan pohon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama.
Melihat krisis iklim dari perspektif agama memberikan kerangka yang lebih mendalam. Kerusakan alam bukan hanya dampak dari kesalahan teknis atau kebijakan yang buruk, tapi juga akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual dalam relasi manusia dengan lingkungan. Di sinilah agama memiliki posisi unik dan sangat penting: bukan hanya sebagai sistem keyakinan pribadi, tetapi juga sebagai motor perubahan sosial dan ekologis.
Tokoh-tokoh agama—ulama, pendeta, biksu, rohaniwan—perlu mengambil peran yang lebih aktif. Mereka dapat menjadi agen perubahan melalui khutbah, ceramah, pengajaran, dan aksi nyata yang mengangkat isu lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab iman. Rumah ibadah dapat menjadi pusat pendidikan ekologis yang menyentuh hati, bukan hanya menyentuh logika.
Lebih dari itu, gerakan keagamaan perlu membentuk koalisi lintas iman dalam menghadapi krisis ini. Krisis iklim tidak mengenal batas agama, ras, atau negara. Ini adalah tantangan global yang membutuhkan solidaritas moral umat manusia. Ketika nilai-nilai agama dipadukan dengan sains dan kebijakan publik, maka akan lahir pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Penutup
Krisis iklim adalah panggilan pertobatan global. Ini bukan hanya soal mengganti plastik dengan tas kain atau menanam pohon setahun sekali. Ini tentang perubahan cara pandang—dari melihat alam sebagai objek eksploitasi menjadi ciptaan Tuhan yang suci dan harus dijaga dengan cinta. Kita membutuhkan revolusi spiritual yang menjadikan iman sebagai landasan untuk hidup lebih ramah lingkungan.
Akhirnya, menjaga bumi bukanlah pilihan, tapi kewajiban. Sebab bumi bukan milik kita semata, melainkan warisan untuk generasi berikutnya, dan amanah dari Sang Pencipta. Maka mari kita jawab panggilan ini—dengan iman, dengan ilmu, dan dengan tindakan.

