Otonomi Pemuda Terancam: Menggugat “Tangan Tak Terlihat” di KNPI Pandeglang

Bagikan

Oleh : Yudistira, penulis adalah Ktua OC Musda KNPI Pandeglang

Narwala.id – Berakhirnya masa jabatan Sulaeman Apandi sebagai Ketua Umum DPD KNPI Pandeglang menandai batas sebuah era sebuah era stabilitas dan persatuan yang dibangun di bawah kepemimpinan tunggal versi Ali Hanafiah. Selama tiga tahun, KNPI Pandeglang berhasil merangkul berbagai organisasi pemuda, menjaga harmonisasi dalam satu platform kolektif. Namun saat Musyawarah Daerah (Musda) mendekat, keseimbangan itu terguncang oleh aroma kuat intervensi kekuasaan, terutama dari Wakil Bupati Iing Andri Supriadi.

Wakil Bupati disebut memberikan arahan kepada kelompok Cipayung Plus agar mendukung Ajat Sudrajat dari PMII/Ansor, serta mendorong perpindahan dukungan dari versi Ali Hanafiah ke kubu Rano Alfath

Tindakan ini melampaui fungsi netral birokrasi menjadi wujud dari what political theorists call authoritarian paternalism, di mana elite kekuasaan mengatur arah organisasi masyarakat sipil bukan melalui legitimasi politik yang alami, melainkan manipulasi struktural.

Padahal, dalam semangat demokrasi deliberatif yang diusung oleh Jean‑Jacques Rousseau, kehendak penuh masyarakat (volonté générale) seharusnya berkembang dari kesadaran bersama, bukan sekadar akumulasi suara atau volonté de tous yang rapuh dan mudah ditunggangi. Intervensi yang tegas dari gubernur daerah dalam proses Musda KNPI sama saja mereduksi pemuda menjadi instrumen kepentingan politik, mengikis ruang otonom sekaligus merusak kepercayaan internal

Pernyataan resmi Wakil Bupati bahwa hanya versi KNPI Rano Alfath yang akan diakui secara legal jika terjadi dualisme, justru menegaskan ironi yang melingkupi proses ini. Sebagai pejabat publik, idealnya beliau menjadi penyeimbang, namun kenyataannya beliaulah yang justru menciptakan bipolarisasi. Menurut Hannah Arendt, kekuasaan yang sah seharusnya membuka ruang kebebasan, bukan menundukkan wacana publik ke dalam subordinasi struktural

Jika pola ini berlangsung tanpa gangguan, bukan kegagalan pemuda yang harus disalahkan, melainkan sistem yang gagal menjaga independensi mereka. Otonomi pemuda Pandeglang sedang diujikrisis kepercayaan tengah melanda karena idealisme digantikan oleh strategi hasil instan. Kini saatnya pemuda bangkit: menolak intervensi eksternal, menyerukan transparansi proses Musda, dan mengukuhkan peran mereka sebagai subjek demokrasi. Seperti kata Søren Kierkegaard, “the most common form of despair is not being who you are.” Pemuda sejati bukan bayang‑bayang kekuasaan, melainkan matahari perubahan yang menerangi masa depan mereka sendiri.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments