Oleh: Agus Jubaedi

Di tengah gempuran eksploitasi hutan oleh korporasi yang mengusung jargon “pembangunan”, ada satu kekuatan senyap yang selama puluhan, bahkan ratusan tahun, telah menjaga kelestarian alam—pamali.
Bagi masyarakat Baduy, Kasepuhan, atau suku-suku adat lainnya di Nusantara, pamali bukan sekadar larangan tanpa alasan. Ia adalah kode etik ekologis, hukum tak tertulis yang diwariskan dari leluhur untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Pamali Sebagai Kode Etik Ekologis
“Jangan tebang pohon itu, nanti kena bala.”
“Jangan buang air sembarangan di sungai, nanti disumpah buaya putih.”
“Jangan buka ladang di tanah keramat, nanti panennya kutukan.”
Bagi masyarakat kota, kalimat-kalimat itu mungkin terdengar konyol, tak rasional, bahkan dianggap bagian dari takhayul atau kepercayaan primitif. Tapi di balik “ketakhayulan” itu, tersimpan mekanisme sosial dan budaya yang lebih efektif daripada undang-undang kehutanan yang sering dilanggar oleh pengusaha dan oknum aparat sendiri.
Ketika Negara Tak Mampu, Pamali Melindungi
Negara punya peraturan, tapi juga punya pengecualian yang sering dibeli. Undang-undang lingkungan bisa dimandulkan oleh lobi dan modal. Namun, pamali tidak bisa disogok. Ia hidup dalam kesadaran kolektif, bukan dalam teks hukum.
Cobalah tanya pada para pembabat hutan, apakah mereka berani menebang pohon tua di tengah kampung adat? Bahkan korporat sekalipun, sering memilih jalur belakang karena tak mampu menghadapi perlawanan warga yang menganggap pamali sebagai hukum suci.
Bukan Melawan Ilmu, Tapi Menjaga Hikmah
Pamali memang bukan hukum ilmiah. Ia tidak diajarkan di kampus, tidak ditulis di jurnal akademik. Tapi jika kita mau jujur, pamali telah menjaga hutan lebih lama daripada proyek konservasi manapun yang seringkali gagal karena pendekatannya terlalu teknokratis.
Kita perlu berhenti melihat pamali sebagai “musuh rasionalitas”, tapi mulai mengakui bahwa dalam balutan mitos, tersimpan logika ekologis yang sangat dalam. Pamali adalah indigenous knowledge—ilmu lokal yang tidak kalah valid, hanya saja berbicara dengan bahasa yang berbeda.
Kaum Korporat Tidak Percaya Pamali, Tapi Takut Pamali
Ironisnya, mereka yang mengklaim sebagai rasional dan modern justru melakukan perusakan paling brutal. Gunung digerus, hutan dijadikan kebun sawit, sungai dijadikan saluran limbah. Tapi ketika bencana datang—banjir bandang, tanah longsor, kekeringan ekstrem—mereka menyalahkan cuaca, bukan keserakahan.
Sementara masyarakat adat yang dianggap ketinggalan zaman, justru hidup dalam keselarasan. Mereka tidak memperkaya diri dari hutan, tapi memperkaya makna hidup lewat hutan. Dan pamali adalah pagar gaib yang menjaga itu semua.
Pamali Adalah Benteng Terakhir
Ketika hukum formal menjadi lemah, ketika pengawasan negara penuh kompromi, maka pamali menjadi benteng terakhir yang menjaga keasrian hutan dari tangan serakah kaum korporat.
Mungkin kita tak lagi percaya pada hantu penunggu pohon besar. Tapi kita tak boleh kehilangan rasa hormat pada warisan budaya yang telah terbukti menjaga bumi ini tetap hijau. Mungkin kita bisa hidup tanpa pamali. Tapi apakah hutan bisa tetap hidup jika pamali mati?

