Banyak yang Ingin Pesta, Sedikit yang Siap Menikah

Bagikan

narwala.id. Menikah, dalam ajaran agama dan nilai kemanusiaan, adalah sesuatu yang luhur. Ia adalah ikatan suci antara dua insan yang saling mencintai dan bersepakat untuk menempuh hidup bersama dalam suka dan duka. Islam sendiri menegaskan, “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku.” Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda bahwa pernikahan yang paling diberkahi adalah yang paling ringan bebannya.

Namun, entah sejak kapan, makna pernikahan mulai bergeser. Dari yang seharusnya menjadi perjanjian sakral, justru berubah menjadi panggung gengsi dan pamer. Seolah pernikahan baru sah bila disertai pesta besar, gaun mewah, mahar selangit, foto prewedding di luar kota, dekorasi tematik, dan undangan eksklusif. Tanpa itu semua, banyak yang merasa belum pantas menyebut dirinya menikah.

Padahal menikah itu sederhana. Tidak perlu dekorasi 30 juta, tidak butuh mahar yang memberatkan, dan tidak wajib meminjam uang hanya demi membuat pesta tiga jam yang akan dilupakan esok hari. Tapi hari ini, terlalu banyak yang ingin menikah, bukan karena ingin membangun rumah tangga, melainkan karena ingin menjadi pusat perhatian ingin euforia, ingin sorotan kamera, ingin “hari paling berkesan” versi media sosial.

Inilah ironinya. Banyak yang ingin pesta, tapi sedikit yang benar-benar siap menikah.

Mereka menunda-nunda akad bukan karena belum siap secara emosional atau spiritual, tapi karena belum cukup uang untuk menyewa gedung, membayar make-up artist, menyewa photobooth, dan menyebar undangan digital plus souvenirnya. Padahal yang paling penting dari pernikahan adalah dua kalimat ijab kabul yang sah, bukan 200 tamu undangan yang bahkan sebagian tidak mengenal kedua mempelai.

Lalu siapa yang mempersulit pernikahan? Jawabannya adalah kita sendiri.

Kita yang menciptakan standar-standar semu, yang menilai suksesnya pernikahan dari megahnya pesta. Kita yang merasa malu jika hanya menikah di rumah sederhana, yang merasa rendah diri kalau maharnya “cuma segitu”, yang takut disebut ‘biasa saja’ kalau tidak ada dokumentasi profesional dengan drone dari atas rumah. Padahal pernikahan bukan ajang unjuk kekayaan. Bukan juga proyek kepuasan visual para tamu.

Sungguh menyedihkan, ketika ada yang benar-benar ingin menikah, sudah menemukan pasangannya, sudah siap lahir batin namun terhalang karena keluarga atau lingkungan memaksa harus ada ini-itu dulu. Mereka tidak sedang menolak pernikahan, tapi menolak kesederhanaan. Dan itulah yang membuat banyak orang akhirnya menyerah di tengah jalan. Rencana yang seharusnya bisa diwujudkan dalam seminggu, menjadi tertunda bertahun-tahun hanya karena dikepung gengsi.

Padahal banyak rumah tangga yang justru bahagia dari awal yang sederhana. Mereka tidak punya foto prewedding, tapi punya komitmen. Mereka tidak punya pesta meriah, tapi punya cinta yang tak lekang. Mereka tidak viral di media sosial, tapi saling setia dalam doa dan perjuangan.

Kita perlu menata ulang cara pandang kita tentang menikah. Bahwa pernikahan bukan tentang seberapa meriah perayaan hari itu, melainkan seberapa kuat kita menjalaninya setelah hari itu. Lebih baik menikah secara sederhana tapi segera, daripada terus menunda hanya demi gengsi yang semu. Karena pesta akan berakhir, tamu akan pulang, bunga akan layu, foto akan usang tapi pernikahan tetap harus dijalani hari demi hari.

Maka jika hari ini kamu ingin menikah tapi merasa tidak cukup secara “perayaan”, tanyakan kembali pada dirimu, Apakah aku benar-benar ingin menikah, atau hanya ingin pesta?

Karena sesungguhnya, yang ingin membangun kehidupan tak akan takut dengan kesederhanaan. Tapi yang ingin unjuk diri, akan terus menyembunyikan ketakutan di balik alasan “belum siap.”Wallahu a’lam bishawab

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments