
Oleh: Topiq Yumansah (Anggota Komunitas Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam/MATADEWA)
narwala.id- Acara perpisahan sekolah, yang sejatinya menjadi momen penuh haru dan syukur atas pencapaian siswa, kini justru menjelma menjadi ajang komersialisasi dan eksploitasi oleh oknum-oknum di lingkungan sekolah. Fenomena ini marak terjadi di berbagai sekolah di Kabupaten Lebak, bahkan menyerupai sindikat terselubung yang beroperasi atas nama “kontribusi sukarela”.
Alih-alih menjadi ruang reflektif dan edukatif, acara perpisahan kini dikemas bak panggung hiburan rakyat. Sewa panggung mewah, seragam khusus, jasa rias, hingga pertunjukan joget dengan saweran menjadi menu wajib yang justru merendahkan martabat pendidikan. Lebih ironis lagi, uang saweran dikumpulkan dan dibagi diam-diam oleh panitia tanpa akuntabilitas. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi pengkhianatan terhadap semangat pendidikan.
Menggunakan siswa sebagai alat pertunjukan demi meraih keuntungan, dan memaksa wali murid menanggung beban biaya tanpa celah penolakan, adalah bentuk kekerasan struktural yang dibungkus seremoni. Banyak sekolah bersembunyi di balik alasan “kesepakatan komite” padahal semua tahu, kekuatan sosial dan tekanan sistemik membuat suara orang tua nyaris tak terdengar.
Yang lebih menyakitkan, praktik ini dilakukan di tengah keprihatinan ekonomi sebagian besar keluarga siswa. Bukankah sekolah seharusnya menjadi tempat penguatan karakter, bukan ajang pembentukan mental konsumtif dan transaksional?
Padahal, regulasi sudah jelas. Surat Edaran dari Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak dan Kemendikbudristek RI dengan tegas melarang pungutan seremonial yang membebani wali murid. Namun, karena lemahnya pengawasan dan tebalnya mental feodal di banyak sekolah, surat edaran hanya jadi lembaran usang yang tak digubris.
Sudah waktunya kita berhenti menormalisasi kebobrokan. Kepala sekolah yang membiarkan, guru yang ikut serta, komite yang memaksa, semuanya harus disorot dan dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus berani bicara. Pemerintah daerah harus berani bertindak. Dunia pendidikan harus kembali ke fitrahnya yaitu mendidik, bukan menghisap.
Jika kita diam, maka kita sedang ikut merawat kebusukan sistem. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dalam sistem pendidikan yang mengajarkan bahwa panggung lebih penting dari akal, dandanan lebih utama dari moral, dan “cuan” lebih tinggi dari kejujuran.
Catatan Penutup Penulis:
Tulisan ini adalah alarm. Sebuah peringatan keras bahwa sekolah bisa kehilangan jiwanya jika dibiarkan menjadi lembaga seremonial, bukan lembaga pencerdasan. Kembalikan perpisahan pada maknanya yang sederhana: mengenang perjuangan, merayakan pencapaian, dan menyemai harapan, tanpa beban, tanpa jebakan.