Nama Prabu Siliwangi sering dilukiskan dalam bayang-bayang harimau loreng, langit yang teduh, dan hutan yang tenang. Sosok raja agung Kerajaan Pajajaran ini menjadi lambang kebesaran, kebijaksanaan, dan keagungan budaya Sunda. Tapi di balik megahnya nama sang raja, terdapat para perempuan yang tak kalah menarik kisahnya para istri yang bukan hanya pendamping, tapi juga bagian penting dari cerita sejarah dan spiritualitas Sunda.
Sebagian dari mereka benar-benar tercatat dalam sumber sejarah dan babad. Sebagian lagi hidup dalam cerita rakyat dan mitologi yang tak kalah kuat pengaruhnya. Kisah mereka adalah cermin zaman, sekaligus saksi perubahan budaya di Tatar Sunda.
1. Dewi Subang Larang: Perempuan yang Membawa Cahaya Baru
Dari semua istri Prabu Siliwangi, nama Dewi Subang Larang adalah yang paling sering disebut. Ia bukan hanya seorang istri, tapi juga penyebar ajaran Islam di lingkungan kerajaan.
Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang ulama dari daerah Cirebon. Meski berasal dari keluarga muslim, ia menikah dengan Prabu Siliwangi yang saat itu masih menganut ajaran Sunda Wiwitan. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raja Sangara tiga anak yang kelak menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.
Kisah Subang Larang bukan sekadar tentang pernikahan beda keyakinan, tapi tentang bagaimana cinta, keyakinan, dan toleransi bisa berjalan berdampingan. Ia tidak memaksa sang raja berpindah agama, tetapi tetap teguh dalam keyakinannya. Inilah mengapa ia dihormati bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi juga simbol kebesaran perempuan dalam budaya Sunda.
2. Nyai Cantring Manik Mayang: Perempuan Bertuah dari Gunung
Nama ini mungkin tidak sering muncul di buku pelajaran, tetapi dalam tradisi lisan, Nyai Cantring Manik Mayang disebut sebagai perempuan sakti yang menjadi pendamping spiritual Prabu Siliwangi. Ia digambarkan sebagai sosok yang memiliki ilmu tinggi, hidup dekat alam, dan berjiwa pertapa.
Beberapa kisah menyebut bahwa Nyai Cantring tinggal di gunung atau hutan, dan hanya muncul saat dibutuhkan. Ia bukan istri dalam pengertian istana yang formal, tapi lebih seperti penjaga kebijaksanaan dan kekuatan batin sang raja.
Dalam dunia Sunda yang sangat menghormati keselarasan antara alam dan manusia, sosok seperti Nyai Cantring memiliki tempat tersendiri. Ia mewakili sisi spiritual yang menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak buta oleh ambisi.
Istri-istri Prabu Siliwangi bukan sekadar pelengkap cerita seorang raja. Mereka adalah cermin zamannya, pembawa nilai, penjaga tradisi, dan dalam banyak hal penentu arah sejarah. Baik yang hadir dalam bentuk nyata seperti Subang Larang, atau dalam wujud mistis seperti Nyi Roro Kidul, mereka semua menunjukkan bahwa perempuan dalam budaya Sunda memiliki kedudukan penting, baik di istana maupun di alam kesadaran kolektif masyarakat.
Di balik gelar raja, selalu ada suara lembut yang memberi arah. Mungkin itulah mengapa Prabu Siliwangi begitu besar: karena ia tidak berjalan sendirian.

