
BPH MATADEWA PRIODE 2025-2026
Komunitas Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam (MATADEWA) bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah simbol perlawanan, bara yang tak pernah padam, dan detak jantung kecemasan bagi mereka yang abai pada keadilan di tanah Lebak. Sejak berdirinya pada tahun 2020, komunitas ini menyuarakan kegelisahan rakyat kecil dengan lantang, tak hanya di ruang-ruang diskusi, tapi juga di jalanan, di tengah debu dan peluh perjuangan.
MATADEWA adalah anak kandung dari kekecewaan mahasiswa Wanasalam. Ia lahir dari rahim penderitaan jalan rusak, fasilitas publik yang tak memadai, dan janji-janji pembangunan yang mandul. Gerakan yang paling membekas longmarch Wanasalam-Rangkasbitung, gerakan itu bukan sekadar aksi, tapi sebuah tamparan kolektif yang membangunkan siapa pun yang telah lama tidur di ranjang kekuasaan. Mereka tak dibayar. Mereka tak bisa dibeli. Karena suara mereka bukan suara pasar, tapi suara nurani.
Dari 2020 hingga akhir kepemimpinan Revi Rizali, MATADEWA berdetak seperti genderang perang, keras, tegas, dan menggugah. Diskusi tak pernah sepi. Advokasi selalu hidup. Dialog publik menjadi menu wajib. Dan di balik semuanya itu, ada semangat kekeluargaan yang tak bisa dipalsukan. Mereka bukan hanya sekedar aktivis, mereka adalah keluarga yang dibalut semangat perubahan.
Namun kini, seolah semuanya hanyalah cerita dari masa lalu. Sejak 15 Maret 2025, saat tongkat estafet kepemimpinan berpindah ke tangan saudara Sarnata (Ketua), Nadiah (Wakil), Indra (Sekretaris), dan Laela (Bendahara), MATADEWA seperti kehilangan suaranya. Komunitas yang dulu bernyawa kini menjadi sunyi, seperti ditelan bumi. Tak ada dentuman langkah, tak ada lagi sorak kritik, bahkan diskusi seolah menjadi benda haram. Apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah kepemimpinan adalah beban terlalu berat bagi pundak-pundak yang hanya kuat saat selfie di media sosial, saat bangga bergandengan tangan dengan pejabat, saat HP miring karena main Game, saat bangga bercumbu bersama pasangan, tapi lemah saat berhadapan dengan realita!!! Apakah komunitas ini sedang digiring untuk menjadi patung dekoratif dalam museum perjuangan? Atau mungkin, mereka telah kenyang terlalu dini oleh aroma kekuasaan yang meninabobokan?
Ini bukan sekadar soal kinerja. Ini soal hilangnya arah, hilangnya nyawa dari tubuh organisasi yang dulu menjadi simbol pembangkangan yang elegan. Kepemimpinan tanpa nyali hanyalah catatan kaki dalam buku sejarah perjuangan.
MATADEWA bukan milik satu atau dua orang. Ia milik gerakan. Milik mahasiswa Wanasalam yang lelah menunggu perubahan dari janji-janji kosong para bajingan. Maka diamnya pengurus hari ini bukan hanya pengkhianatan terhadap cita-cita awal, tapi juga penghinaan terhadap luka yang membentuk kita.
Kini saatnya kita bertanya, apakah MATADEWA akan mati muda karena salah urus?
Ataukah akan lahir kembali, dari tangan-tangan baru yang tak gentar kotor demi membersihkan jalan sejarah?
Api yang padam bukan berarti hilang. Ia hanya butuh angin. Dan kami, keluarga besar MATADEWA, akan selalu menjadi angin itu, yang menghidupkan kembali bara, sebelum semuanya benar-benar menjadi abu.
#SALAM AKAL SEHAT #SELAMATKAN MATADEWA #MATADEWA DI UJUNG NADI