Ketika Organisasi Mahasiswa Dikunci, Ditekan, dan Diajari Menjilat

Bagikan

Narwala.id- Dulu, suara mahasiswa menggema di jalan. Kini, lebih sering terdengar di kafe sambil menyeruput kopi susu. Dulu, mahasiswa berani menatap mata penguasa. Sekarang? Sibuk memantau notifikasi dari senior yang sudah jadi jelema (istilah sunda yang sering dipakai untuk menunjukan itu orang sukses).

Organisasi mahasiswa hari ini seperti singa yang dicabut taring dan kukunya, lalu diajari duduk manis sambil tersenyum kepada penjagal. Apa kabar mahasiswa yang katanya agen perubahan? Hari ini justru menjadi agen ketenangan kekuasaan. Bahkan, tak sedikit organisasi mahasiswa yang berubah fungsi, bukan pengawal nurani publik, tapi pengaman proyek politik.

Kita hidup di negeri yang aneh. Mahasiswa yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, malah diminta diam demi stabilitas. Dulu, di era Orde Lama, mahasiswa menggulingkan kekuasaan lewat barisan massa. Di era Orde Baru, mahasiswa memecah tembok kediktatoran Soeharto dengan darah dan semangat. Tapi kini?

Gerakan mahasiswa hari ini lebih sering dihentikan oleh “uang transport”. Aksi protes bubar bukan karena gas air mata, tapi karena “koordinasi selesai”. Uang pun cair, kemarahan jadi netral, perjuangan tinggal pamflet.

Yang lebih keji lagi, banyak senior, yang dulu lantang, kini mengajarkan cara menjadi budak kekuasaan. Mereka membisikkan teknik “bertahan di struktur” dengan cara menjilat

“Kalau mau aman, jangan terlalu kritis.”

“Kalau mau dapat dana, deketin si pejabat itu.”

“Kalau mau naik, jangan nyerang yang berkuasa.”

Padahal mereka dulu jadi idola ketika orasi, tapi sekarang jadi dalang yang menggunting nyali adik-adiknya.

Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit rektor dan pejabat kampus yang justru menjadi polisi moral gerakan mahasiswa. Kampus, yang mestinya jadi rumah kritik, kini berubah jadi pabrik ketakutan. Mahasiswa yang ingin bersuara dikejar kode etik, SK DO, pencabutan beasiswa dll. Semua atas nama “menjaga nama baik institusi” yang sebetulnya hanya jubah untuk menyenangkan pemegang kekuasaan.

Kita juga melihat ironi lain seperti banyak organisasi mahasiswa hanya sibuk dengan administrasi dan seminar palsu. Kegiatan hanya digelar untuk laporan, bukan untuk membakar kesadaran. Tak ada lagi forum kajian yang menggugat ketimpangan. Yang ada hanya rapat, proposal, dan cari konsumsi.

Bahkan ketika negara makin otoriter, ketika rakyat makin menderita, mahasiswa malah memilih “netral”. Padahal, Netral dalam kebatilan adalah bentuk paling jahat dari pengecut.

Mahasiswa seharusnya menghidupi Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Tapi bagaimana bisa mengabdi kepada masyarakat jika malah patuh pada penguasa? Bagaimana bisa meneliti kebenaran jika takut pada tekanan?

Mahasiswa bukan penonton demokrasi. Mahasiswa bukan biro humas kekuasaan. Mahasiswa adalah suara nurani bangsa. Dan ketika suara itu dimatikan, maka gelaplah masa depan bangsa pula.

Hari ini, mahasiswa punya dua pilihan, pertama. Menjadi kritis dan melawan arus kenyamanan palsu, atau di posisi kedua dengan Menjadi generasi pelanjut penjilat yang hanya hidup dari belas kasihan kekuasaan.

Jika kamu masih bisa berpikir dan berbicara, gunakan mulutmu untuk menggugat, bukan untuk menjilat. Jika kamu masih mahasiswa, tunjukkan bahwa kamu berbeda dari boneka struktural yang hanya tahu perintah dan basa-basi.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments