Dalam cerita-cerita yang turun dari lisan ke lisan, nama Rara Santang disebut dengan kelembutan dan hormat. Ia bukan hanya anak dari Prabu Siliwangi dan Subang Larang, tapi juga salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Islam di tanah Sunda. Kisah hidupnya melampaui batas seorang putri Kerajaan ia menjadi pelancong spiritual, ibu seorang wali, dan simbol transisi budaya besar di Nusantara.
Lahir dari Darah Raja dan Ibu Ulama
Rara Santang lahir sebagai putri dari Prabu Siliwangi, raja besar Pajajaran, dan Subang Larang, seorang muslimah taat yang berguru kepada Syekh Quro. Bersama kakaknya Raden Walangsungsang, ia tumbuh dalam suasana istana yang agung namun juga penuh ketegangan spiritual.
Karena mengikuti ajaran Islam seperti ibunya, Rara Santang seperti kakaknya tidak mendapat hak atas tahta Pajajaran yang saat itu berpegang pada adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Tapi, seperti mata air yang memilih mengalir ke laut, ia justru menemukan takdirnya di luar dinding istana.
Perjalanan ke Tanah Suci: Mekkah, dan Pertemuan yang Mengubah Sejarah
Bersama Walangsungsang, Rara Santang berguru pada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Di sanalah keislamannya semakin dalam. Tapi cerita tidak berhenti di situ. Dalam beberapa versi babad dan cerita rakyat, disebutkan bahwa Rara Santang melakukan perjalanan haji ke Mekkah sebuah langkah yang sangat langka dan luar biasa untuk seorang perempuan Nusantara di masa itu.
Di sana, ia dikisahkan menikah dengan Sayid Abdullah, seorang bangsawan Arab keturunan Rasulullah SAW. Dari pernikahan inilah lahir seorang anak lelaki yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati, anggota Wali Songo dan penyebar Islam yang sangat dihormati di Jawa Barat.
Dari Rara Santang menjadi Syarifah Mudaim
Setelah memeluk Islam secara mendalam dan hidup di tanah suci, Rara Santang diberi gelar Syarifah Mudaim, sebagai bentuk penghormatan atas garis keturunannya dan kedalaman spiritualnya. Nama itu dikenal luas dalam komunitas ulama dan peziarah hingga kini.
Namun, setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke tanah Sunda, membawa misi baru: menyemai nilai Islam dengan cara damai dan bijak, seperti yang diajarkan ibunya dulu.
Peran dalam Transisi Budaya: Islam dan Sunda yang Saling Menghormati
Kehadiran Rara Santang di Cirebon dan sekitarnya bukan hanya sebagai ibu dari Sunan Gunung Jati, tapi juga sebagai penjaga harmoni antara nilai-nilai lama dan ajaran baru. Ia tahu bagaimana menyampaikan dakwah dengan lembut, tanpa menghapus akar budaya Sunda yang penuh keindahan dan keselarasan alam.
Itulah mengapa di tangan keturunannya, Cirebon menjadi wilayah yang sangat unik: Islam berkembang pesat, tapi tradisi lokal tetap hidup dalam bentuk batik, tari topeng, bahasa, dan filosofi hidup.
Perempuan dalam Bayang-Bayang, Tapi Menentukan Arah Sejarah
Kisah Rara Santang sering tenggelam oleh tokoh-tokoh laki-laki besar di sekitarnya: ayahandanya Prabu Siliwangi, kakaknya Raden Walangsungsang, dan anaknya Sunan Gunung Jati. Tapi sejatinya, dialah benang merah yang mengikat semuanya menghubungkan Pajajaran dengan Cirebon, budaya Sunda dengan Islam, dan istana dengan kesucian Mekkah.
Ia adalah simbol dari perempuan Sunda yang cerdas, spiritual, dan penuh keberanian. Dalam dunia yang masih didominasi laki-laki, ia tidak berteriak, tapi perjalanannya menggema hingga kini.

