
Narwala.id -Jakarta, 20 Agustus 2025. Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP) bersama Komisi VIII DPR RI pada Rabu (20/8) di Ruang Rapat Komisi VIII, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
RDP ini merupakan bagian dari pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Undangan resmi turut ditujukan kepada sejumlah organisasi Islam besar, antara lain MUI, PBNU, Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah, LDII, Al-Irsyad, serta Mathla’ul Anwar.
Dalam forum tersebut, PBMA yang diwakili oleh Dhona El Furqan menyampaikan lima catatan kritis terhadap draf RUU yang tengah dibahas DPR, dengan penekanan agar regulasi baru benar-benar berpihak pada jamaah haji
Pertama. Pembentukan Badan Setingkat Kementerian
RUU mengusulkan pembentukan Badan Penyelenggara Haji dan Umrah setingkat kementerian. PBMA menilai langkah ini berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Agama.
“Jika tidak ada desain kelembagaan yang jelas, yang muncul justru birokrasi baru, pemborosan anggaran, dan dualisme kewenangan,” tegas PBMA.
Kedua. Kuota dan Pelimpahan Porsi Haji
Aturan pelimpahan porsi (waris/gantian) hanya sekali dinilai rawan menjadi celah praktik jual-beli porsi terselubung. Meski ada larangan, PBMA menilai pengawasan lapangan sulit dilakukan, bahkan rawan manipulasi sistem informasi haji.
Ketiga. Pengelolaan Ekosistem Ekonomi Haji dan Umrah
RUU memberi ruang pembentukan ekosistem ekonomi haji melalui BLU dan kerja sama dengan BPKH. PBMA menyoroti potensi penyalahgunaan dana haji.
“Frasa yang terlalu luas bisa ditafsirkan sebagai komersialisasi haji. Dana haji jangan diperlakukan sebagai instrumen bisnis, melainkan harus tetap fokus pada perlindungan jamaah,” jelas PBMA.
Keempat. Pengetatan Syarat PIHK & PPIU
Kewenangan besar Kepala Badan dalam akreditasi, evaluasi, hingga pemberian sanksi kepada PIHK/PPIU dinilai membuka ruang abuse of power. PBMA mengingatkan, aturan ini dapat mematikan PIHK/PPIU kecil sehingga hanya pemain besar yang bertahan.
Kelima. Sanksi Pidana yang Berat
RUU mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun bagi praktik jual-beli kuota. PBMA menilai sanksi ini penting, tetapi bisa kontraproduktif jika tidak diimbangi mekanisme pengawasan transparan.
“Risiko tebang pilih penegakan hukum tetap terbuka, sementara masyarakat yang jadi korban bisa tidak terlindungi,” ujar PBMA.
PBMA menegaskan bahwa revisi UU Haji harus diarahkan untuk memperkuat perlindungan jamaah, bukan memperbesar birokrasi atau membuka ruang komersialisasi.
“Penyelenggaraan ibadah haji adalah hak umat, sehingga regulasi baru harus benar-benar berpihak pada jamaah. Negara wajib memastikan tata kelola haji lebih adil, transparan, dan bebas dari praktik mafia,” Tutup Pengurus PBMA Dhona El Furqan.
Perwakilan PBMA berharap masukan dari organisasi keagamaan dapat menjadi pertimbangan penting bagi Komisi VIII DPR RI dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik bagi umat Islam, khususnya para jamaah haji.

