
Narwala.id – Seorang dosen sejatinya bukan hanya pengajar, melainkan pendidik sekaligus teladan. Namun, ironisnya, realitas di lapangan sering menunjukkan wajah yang jauh dari ideal itu. Banyak mahasiswa mengeluh, sekadar menghubungi dosen melalui pesan singkat saja sering diabaikan. Alasan klasiknya, sibuk, lupa, tidak diwaktu yang tepat atau menunggu waktu luang. Akan tetapi, bukankah ini kontradiksi besar? Bagaimana mungkin seseorang yang digaji untuk membimbing, mengajar dan mengarahkan Mahasiswa-nya justru menutup diri dari pertanyaan mahasiswa yang haus akan pengetahuan dan arahan?
Sikap acuh semacam ini bukan sekadar masalah teknis komunikasi. Ia adalah gejala penyakit sosial dalam dunia akademik, lahirnya kasta intelektual yang merasa lebih tinggi daripada orang lain. Dosen yang semacam ini seolah memakai topeng “so keren, so ilmiah, so status sosial,” padahal substansinya justru kehilangan ruh seorang pendidik. Ilmu yang mestinya ditularkan dengan kerendahan hati berubah menjadi sekadar alat gengsi dan simbol status.
Dampaknya tidak berhenti di situ. Mahasiswa yang tumbuh dalam kultur pendidikan seperti ini akan merekam pola yang sama. Saat mereka kelak menjadi dosen, sangat mungkin mereka menirukan gaya “dingin” dan berjarak itu. Regenerasi akademik pun berulang, dosen melahirkan dosen yang jauh dari peran sebagai pendidik sejati. Inilah lingkaran setan yang membuat dunia kampus terasa kering, penuh protokol, tetapi miskin keteladanan.
Bandingkan dengan dunia pesantren. Seorang kiai tidak pernah memposisikan dirinya sebagai menara gading yang sulit diakses. Santri yang ingin bertanya, ingin di bimbing, curhat, atau mencari solusi masalah hidup selalu disambut dengan tangan terbuka. Kiai hadir bukan hanya sebagai pengajar ilmu, tetapi juga sebagai ruh penyejuk bagi murid-muridnya. Santri justru belajar keteladanan langsung dari akhlak gurunya, bukan hanya dari kitab-kitab kuning yang dipelajari di Pesantren. Di pesantren itu, kiai menjadi tumpuan, bukan sekadar simbol.
Maka jelaslah, sikap dosen yang acuh dan sok status ini bukan hanya mencoreng wajah akademik, tapi juga menghancurkan nilai luhur pendidikan itu sendiri. Dosen yang abai sejatinya sedang menanam benih kebekuan intelektual, mencetak generasi yang gagap empati. Bila ini terus dibiarkan, maka kampus hanya akan melahirkan sarjana yang pintar teori, tapi miskin akhlak, dan kondisi ini berbeda 180 derajat dengan pesantren yang justru melahirkan manusia dengan keteguhan ilmu dan kehangatan jiwa.