Negara Kita Tidak Baik-Baik Saja

Bagikan

Narwala.id- Dua peristiwa dalam rentang waktu hanya beberapa hari di Jakarta memperlihatkan wajah buram demokrasi Indonesia. Pada 25 Agustus 2025, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan pelajar turun ke jalan menolak tunjangan DPR, menuntut pembubaran parlemen, serta menolak politik dinasti. Aksi tersebut berujung pada penangkapan lebih dari 400 orang, di antaranya 200 pelajar. Hanya tiga hari berselang, tepatnya pada hari ini 28 Agustus 2025, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan  berumur 21 tahun yang bergabung dalam jajaran aksi demo buruh justru tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat, saat gelombang demonstrasi  berlangsung ceos sampai malam tadi.

Rangkaian peristiwa ini membuktikan bahwa negara kita sedang tidak baik-baik saja. Kekerasan aparat, penangkapan massal, dan korban jiwa menunjukkan bahwa demokrasi yang kita banggakan ternyata rapuh dan semakin bergeser menuju otoritarianisme terselubung.

Demo 25 Agustus memperlihatkan wajah klasik negara yang alergi terhadap kritik rakyat. Alih-alih menampung aspirasi, aparat justru menahan ratusan demonstran, termasuk ratusan pelajar yang seharusnya dilindungi hak-haknya sebagai anak bangsa. Inilah bentuk criminalization of dissent atau kriminalisasi terhadap suara kritis.

Belum tuntas luka dari peristiwa itu, publik kembali diguncang dengan kematian Affan Kurniawan pada 28 Agustus ini. Ia bukan elit politik, bukan pemegang kuasa, melainkan rakyat biasa yang mencari nafkah di jalanan yang sedang memperjuangkan ketidak adilan. Namun, ia meregang nyawa akibat kebesingan aparat yang mengendarai kendaraan taktis bak di medan perang. Tragedi ini mengkonfirmasi bahwa negara gagal melindungi warganya dari kekerasan aparat yang semestinya mengayomi.

Ketika rakyat menolak tunjangan DPR, tuntutan itu sejatinya lahir dari kegelisahan mendalam terhadap perilaku wakil rakyat yang semakin jauh dari rakyat. Politik dinasti dan budaya feodal dalam demokrasi elektoral memperlihatkan bahwa parlemen lebih sibuk melanggengkan kekuasaan daripada menegakkan keadilan sosial.

Dalam teori politik, demokrasi seharusnya bertumpu pada kedaulatan rakyat. Namun, dalam kenyataan Indonesia hari ini, demokrasi lebih tampak sebagai kedok untuk melanggengkan oligarki. Represi aparat terhadap demonstrasi, penahanan massal, hingga kematian sipil hanyalah gejala dari demokrasi yang membusuk, Dimana suara rakyat kritis dibungkam, sementara elit terus berpesta sambil goyang-goyang dikorsi empuk.

Negara hanya sah jika penggunaan kekerasannya mendapatkan legitimasi rakyat. Tetapi, bagaimana mungkin legitimasi itu terjaga bila aparat justru menjadi mesin represi? Kasus penahanan massal pada 25 Agustus dan penabrakan warga sipil pada 28 Agustus ini memperlihatkan delegitimasi yang nyata.

Akirnya, Negara kita bukan hanya mengalami krisis kepercayaan, tetapi juga krisis moral. Aparat kehilangan simpati publik, DPR kehilangan martabat, dan rakyat kehilangan rasa aman. Di tengah situasi ini, sulit untuk mengatakan bahwa “negara baik-baik saja”. Justru, kita sedang berada di ambang kerapuhan.

Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar tidak datang dari atas, melainkan dari bawah, dari rakyat yang bersatu melawan ketidakadilan. Tragedi Affan Kurniawan dan kriminalisasi pelajar pada demo 25 Agustus harus menjadi alarm keras bagi kita. Perlawanan rakyat tidak boleh dibungkam, melainkan harus diarahkan pada perjuangan yang sah, terorganisir, dan berkelanjutan.

Untuk itu, masyarakat sipil, mahasiswa, buruh, ulama, santri, akademisi, maupun warga biasa harus bersatu menyuarakan tuntutan. Hentikan politik dinasti, bubarkan parlemen korup, buat kebijakan yang berpihak pada rakyat dan adili aparat yang membunuh rakyat. Maka Insaallah persatuan rakyat adalah modal utama untuk menekan negara agar kembali kepada jalur demokrasi yang sejati.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments