Analisi Film I, Daniel Blake, (2016) Dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan

Bagikan
Penulis merupakan Wakil Ketua Matadewa, sekaligus Peneliti BRIMA

Narwala.id – Film I, Daniel Blake (2016) karya sutradara Ken Loach merupakan potret sosial yang menggambarkan sisi kelam dari sistem kesejahteraan modern. Melalui kisah seorang pria pekerja keras yang terjebak dalam birokrasi negara, film ini mengkritik kegagalan negara kesejahteraan (welfare state) dalam menjamin keadilan sosial. 

Tokoh utama, Daniel Blake, adalah seorang tukang kayu berusia 59 tahun di Newcastle, Inggris. Setelah menderita serangan jantung, dokter menyatakan bahwa ia tidak layak untuk bekerja. Namun, ketika mengajukan tunjangan sosial, pemerintah menolak dengan alasan hasil penilaian administratif menyebut ia masih “fit for work”. Sejak saat itu, Daniel terperangkap dalam siklus birokrasi tanpa akhir mengisi formulir daring, mengikuti wawancara mekanis, dan menghadapi sistem digital yang tidak memihak pada mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi. Dalam sebuah adegan, Daniel dengan marah berkata, “I am not a client, a customer, nor a shirker. I am a citizen, nothing more, nothing less.”Kalimat ini menjadi simbol perjuangannya untuk mempertahankan martabat di tengah sistem yang menolak mengakui kemanusiaannya.

Film ini memperlihatkan benturan antara individu dan struktur sosial. Daniel mewakili individu yang berhadapan dengan sistem birokrasi rasional, seperti digambarkan oleh Max Weber sebagai “kandang besi rasionalitas” (iron cage of rationality). Bahwa dalam hal ini melihat manusia kehilangan kebebasan dan makna karena setiap aspek kehidupan diatur oleh prosedur administratif yang tidak mengenal empati. Daniel bukan hanya korban sistem ekonomi, tetapi juga korban dari rasionalitas modern yang telah menggeser nilai-nilai kemanusiaan.

Masalah utama yang ditampilkan dalam film ini adalah Dehumanisasi kebijakan sosial. Alihalih memberikan perlindungan, sistem kesejahteraan yang berbasis komputer justru mengasingkan warga dari hak-hak mereka. Daniel, yang tidak mahir menggunakan komputer, menggambarkan bentuk baru dari digital divide atau kesenjangan digital yang memperlebar ketimpangan sosial. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan berbasis teknologi tanpa pendidikan dan inklusi sosial justru menciptakan bentuk eksklusi baru.

Film ini mengandung kritik tajam terhadap neoliberalisme ideologi ekonomi yang menekankan efisiensi pasar dan tanggung jawab individu atas kesejahteraannya sendiri. Dalam sistem neoliberal, negara mundur dari peran sosialnya dan menyerahkan banyak urusan publik kepada mekanisme pasar. Hasilnya, seperti tergambar dalam film, rakyat miskin menjadi korban “birokrasi pasar” yang memperlakukan mereka seperti data, bukan manusia. Negara lebih fokus pada penghematan anggaran ketimbang memastikan hak hidup warganya. Ini menggambarkan apa yang disebut Karl Marx sebagai bentuk Alienasi Sosial ketika manusia kehilangan kendali atas kehidupannya karena sistem ekonomi yang menindas.

Dalam adegan lain, Daniel membantu seorang ibu tunggal bernama Katie yang juga berjuang menghidupi dua anaknya setelah dipindahkan dari kota London. Katie terpaksa mencuri makanan karena kelaparan, sementara Daniel menulis pesan protes besar di dinding kantor kesejahteraan.“I, Daniel Blake, demand my rights as a citizen.”

Tindakan ini bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan bentuk Resistensi Simbolik terhadap sistem yang tidak adil, dan memperlihatkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi sosial.

Film ini juga menjadi kritik terhadap model pembangunan yang Ekonomistik dan Top-down. Yaitu Pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek sosial akan menghasilkan ketimpangan struktural. Ketimpangan yang ditampilkan dalam film ini bukan bersifat individual, melainkan struktural. Daniel dan Katie adalah simbol dari kelas pekerja yang tersingkir karena tidak memiliki modal ekonomi maupun modal budaya. Mengacu pada konsep Bourdieu, mereka tidak memiliki akses terhadap sistem nilai dominan seperti kemampuan digital, pengetahuan administratif, dan jaringan sosial yang diperlukan untuk bertahan dalam sistem kesejahteraan modern. Dengan demikian, kemiskinan yang mereka alami bukan akibat kemalasan, melainkan hasil dari reproduksi ketimpangan sosial melalui kebijakan negara.

Selain menggambarkan ketimpangan, film ini juga menyoroti krisis solidaritas sosial. Dalam masyarakat modern yang individualistik, nilai tolong-menolong dan rasa empati perlahan memudar. Hal ini sejalan dengan teori Emile Durkheim tentang melemahnya solidaritas organik dalam masyarakat industri. Daniel dan Katie menemukan solidaritas dalam penderitaan mereka, namun solidaritas itu bersifat terbatas dan personal, bukan struktural. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tanpa pembangunan moral akan menimbulkan anomi sosial keadaan di mana norma sosial kehilangan kekuatannya.

Film ini juga mengandung pesan moral yang kuat mengenai hakikat kemanusiaan dalam pembangunan. Ken Loach tidak hanya menyoroti kemiskinan, tetapi juga hilangnya martabat. Ketika negara gagal melihat warganya sebagai manusia, maka pembangunan telah kehilangan arah. Seperti yang dikatakan Daniel dalam salah satu adegan terakhir: “When you lose your self-respect, you’re done for.” Kalimat ini menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam kehidupan sosial adalah martabat manusia, bukan efisiensi ekonomi.

Secara keseluruhan, I, Daniel Blake menghadirkan refleksi mendalam tentang krisis kemanusiaan di tengah sistem pembangunan modern. Pembangunan yang berorientasi pada angka dan prosedur, tanpa keadilan sosial dan empati, hanya akan menciptakan penderitaan baru. Film ini mengingatkan bahwa keberhasilan ekonomi tidak akan berarti tanpa keberhasilan sosial. Negara harus kembali pada perannya sebagai pelindung moral masyarakat, bukan sekadar pengatur administratif.

Jika dilihat dalam perspektif Sosiologi pembangunan, film ini dapat dipandang sebagai panggilan untuk pembangunan yang humanistik dan partisipatif. Pembangunan seharusnya menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Dengan demikian, film I, Daniel Blake adalah cermin dari realitas global yang juga relevan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahwa  ditengah modernisasi dan digitalisasi layanan publik, masih banyak warga yang terpinggirkan karena keterbatasan sosial, ekonomi, dan teknologi.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments