Dari Pemilu Serentak Ke Pemilu Bertahap: Quo Vadis Demokrasi Elektoral Indonesia?

Bagikan

Oleh: Topiq Yumansah (Anggota Komunitas Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam/Matadewa), sekaligus Peneliti BRIMA.

Narwala.id-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXI/2024 telah mengguncang lanskap demokrasi elektoral Indonesia. Dalam sidang yang digelar 28 Juni 2024, Mahkamah menyatakan bahwa pemilu serentak sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tidak lagi selaras dengan prinsip demokrasi yang efektif, efisien, dan berkeadilan. Sebagai konsekuensi, mulai Pemilu 2029, pemilu nasional dan pemilu daerah akan dipisahkan dua tahun pelaksanaannya.

Putusan ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan titik balik konstitusional. Pertanyaannya, apakah ini koreksi sistem yang diperlukan, atau sinyal krisis ketatanegaraan yang lebih dalam?

Rasionalitas dan Luka Teknis

Argumen utama Mahkamah cukup kuat dari sisi teknis. Fakta empiris menunjukkan betapa beratnya beban logistik dan mental dalam pemilu serentak. Pada Pemilu 2019, ratusan petugas KPPS meninggal dunia, ribuan lainnya jatuh sakit. Pemilu 2024 nyaris mengulang tragedi yang sama: distribusi logistik terganggu di ribuan TPS, dan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu menurun drastis dari 61% (2019) menjadi 54,7% (2024), menurut survei LSI.

Putusan ini mencoba menjawab kompleksitas itu dengan pendekatan rasional, pisahkan pemilu agar fokus, akuntabel, dan lebih manusiawi. Tetapi apakah solusi logistik dapat otomatis menyelesaikan problem demokrasi kita?

Tafsir Konstitusi yang Bergoyang

Yang menjadi ganjalan adalah soal konsistensi tafsir konstitusi. Lima tahun lalu, Mahkamah lewat Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 justru menegaskan pentingnya pemilu serentak demi penguatan sistem presidensial. Kini, arah tafsirnya berbelok 180 derajat. Di sinilah publik berhak curiga: apakah konstitusi sedang ditafsirkan berdasarkan logika hukum atau kepentingan sesaat?

Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem menyebutnya “zig-zag konstitusional” yang mengganggu stabilitas perencanaan demokrasi. Sementara Prof. Zainal Arifin Mochtar mengingatkan bahwa pemilu bertahap justru rawan menciptakan disharmoni siklus kekuasaan antara pusat dan daerah. Legitimasi bisa mengambang, dan ruang koordinasi bisa timpang.

Demokrasi yang Terjebak Kulit

Masalah terbesar demokrasi Indonesia bukan di jadwal pemilu, tapi di jantung sistemnya: partai politik yang oligarkis, pendidikan politik yang minim, dan budaya transaksional yang merajalela. Proses elektoral masih lebih banyak didorong oleh uang ketimbang ide. Kompetisi politik masih lebih banyak menyasar logistik daripada logika.

Indeks Demokrasi Indonesia stagnan di angka 73,1 (kategori sedang). Indeks Persepsi Korupsi 2024 bahkan turun ke angka 33. Angka-angka ini memperlihatkan satu hal: demokrasi prosedural kita berjalan, tapi substansinya keropos.

Pemilu Bukan Segalanya

Kita perlu menyadari bahwa pemilu hanyalah sarana, bukan tujuan. Serentak atau bertahap hanyalah pilihan teknis. Demokrasi tidak akan tumbuh dari perubahan jadwal, tapi dari keberanian memperbaiki sistem. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata kelola partai, pendidikan politik warga, dan independensi lembaga pengawas, pemilu—apa pun formatnya—akan tetap jadi ritual lima tahunan yang miskin makna.

Putusan MK 135/PUU-XXI/2024 harus dibaca bukan hanya sebagai perubahan jadwal, tetapi sebagai peringatan bahwa demokrasi kita butuh evaluasi total. Bukan sekadar mengganti sistem, tapi membongkar akar masalah: bagaimana politik kita masih dikuasai segelintir elit, dan bagaimana suara rakyat sering hanya jadi hiasan di bilik suara.

Akhirnya, Quo Vadis Demokrasi Kita?

Ke mana arah demokrasi elektoral Indonesia? Jawabannya bergantung pada kita semua: apakah kita siap menyelamatkan demokrasi dari jebakan prosedural, atau justru puas dengan demokrasi kosmetik yang miskin substansi.

Sudah saatnya kita berhenti memperdebatkan bentuk pemilu, dan mulai fokus pada isi demokrasi itu sendiri. Demokrasi sejati hanya bisa lahir jika suara rakyat benar-benar menjadi pusat pengambilan keputusan. Bukan sekadar dalam bilik suara, tetapi juga dalam setiap kebijakan yang menyentuh hidup mereka.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments