Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam (MATADEWA) sebuah Gerakan Mahasiswa, Bukan Komunitas Kiri

Bagikan

Oleh: Aceng Murtado Penulis adalah Salah satu pendiri MATADEWA, Akademisi dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA)

Kota Serang, sebagai ibu kota Provinsi Banten, menjadi magnet bagi anak-anak kampung untuk menimba ilmu dan meraih masa depan. Di antara mereka, para pemuda dari Kecamatan Wanasalam—sebuah wilayah di Kabupaten Lebak yang masih berjarak jauh dari pusat pembangunan—datang dengan semangat dan harapan yang sama. Namun, di balik hiruk-pikuk perantauan, tak sedikit dari mereka yang merasa terputus dari akar sosialnya, kehilangan koneksi satu sama lain, dan berjalan sendiri-sendiri dalam sunyi perantauan.

Kondisi inilah yang melahirkan ide besar dari seorang mahasiswa senior asal Wanasalam bernama Aas Al-Furqon. Ia mengajak para mahasiswa Wanasalam yang sedang menempuh pendidikan di Kota Serang untuk kembali berkumpul, berdiskusi, dan membangun gerakan berbasis pengabdian. Dari ruang diskusi sederhana itu, lahirlah sebuah komunitas bernama Mahasiswa Taktis Demokratis Wanasalam—yang disingkat MATADEWA.

Komunitas ini bukan sekadar tempat berkumpul. Ia adalah wadah perjuangan yang menanamkan prinsip dasar: bahwa pengabdian adalah fondasi dari gerakan. Manifesto MATADEWA tegas menyatakan: “Jika pengabdian menjadi dasar perjuangan, maka dengan segera pergerakan akan berbuah perubahan.” Ini bukan semboyan kosong. Ia lahir dari pengalaman nyata, dari keresahan atas ketimpangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat di kampung halaman.

Pada tahun 2023, MATADEWA mencuri perhatian banyak pihak ketika para anggotanya melakukan aksi jalan kaki sejauh hampir 100 kilometer dari Kecamatan Wanasalam ke pusat pemerintahan Kabupaten Lebak. Mereka datang bukan untuk mengacau, bukan untuk menghasut, tapi untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas minimnya pembangunan infrastruktur. Ini adalah bentuk keberanian moral—sebuah advokasi akar rumput yang lahir dari kepedulian, bukan kebencian.

Namun, seperti halnya banyak gerakan mahasiswa yang kritis, MATADEWA tak luput dari kecurigaan. Mereka mulai dicap sebagai “komunitas kiri,” bahkan dituduh membawa ideologi-ideologi asing seperti sosialisme, komunisme, atau marxisme. Tuduhan ini, tentu saja, adalah simplifikasi yang keliru.

MATADEWA BUKAN GERAKAN KIRI

Perlu ditegaskan bahwa MATADEWA bukan gerakan kiri revolusioner, bukan pula gerakan kanan yang konservatif. MATADEWA adalah gerakan inklusif yang berbasis pada semangat gotong royong, pengabdian, dan perjuangan intelektual. Jika ada kemiripan dengan gagasan-gagasan kiri, maka itu sebatas pada semangat keadilan sosial dan perlawanan terhadap ketimpangan. Bukankah memperjuangkan jalan, pendidikan, dan layanan publik yang layak adalah hak setiap warga negara?

Di negara demokrasi, gerakan mahasiswa adalah pilar kontrol sosial. Mereka bertugas mengingatkan, bukan mengancam. MATADEWA hadir untuk menghubungkan yang tercerai, menyuarakan yang diam, dan menjadi jembatan antara mimpi-mimpi pemuda desa dengan kenyataan pembangunan.

Karena itu, daripada mencurigai, sebaiknya para pengambil kebijakan mendengar. Karena suara mahasiswa, jika tak direspon dengan bijak, bisa menjadi gema kekecewaan yang lebih besar. Dan suara MATADEWA, sejauh ini, adalah suara yang jernih: suara perubahan yang tumbuh dari cinta terhadap kampung halaman.

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Nathaniel
Nathaniel
May 27, 2025 14:01

Mantaapp kandaaa