HISBANS dan Jalan Baru Kesantrian dari Banten Selatan

Bagikan

Oleh: Ust Lukman, Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Santri Banten Selatan (HISBAN’S)

Di tengah derasnya arus zaman yang kian mengaburkan batas antara popularitas dan substansi, antara ketokohan dan kebenaran, hadirnya Himpunan Santri Banten Selatan (Hisbans) menjadi suluh yang menuntun arah. Ia bukan sekadar organisasi biasa, melainkan sebuah gerakan nilai. Hisbans lahir bukan karena tuntutan formalitas kelembagaan, tetapi karena kebutuhan mendesak akan ruang bersama yang menyatukan santri-santri Banten Selatan dari berbagai latar pesantren, mazhab keilmuan, dan arus pemikiran.

Moto yang diusung, “Jangan mengukur kebenaran dengan tokoh, tapi ukurlah tokoh dengan kebenaran”, bukan sekadar kutipan manis, tetapi merupakan sikap ideologis yang menantang kultur dominan di banyak ruang keagamaan dan sosial hari ini. Moto ini menjadi kritik halus namun sangat relevan terhadap pola pikir yang menjadikan figur sebagai sumber kebenaran mutlak, padahal seharusnya kebenaran—yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis, serta akal sehat yang lurus—adalah rujukan tertinggi yang menjadi standar bagi siapa pun, termasuk tokoh.

Dari Gardu Ronda Menuju Bahtera Perubahan

Salah satu hal paling menginspirasi dari kisah lahirnya Hisbans adalah proses dan tempat kelahirannya. Ia tidak digagas di ruang-ruang seminar yang berpendingin udara, tidak pula hasil intruksi lembaga tertentu. Justru, percik ide awal Hisbans lahir di gardu ronda—simbol kesederhanaan dan kebersahajaan masyarakat bawah. Di sanalah, Ustadz Azhari dan Aceng Murtadho, bersama santri-santri lainnya, merajut mimpi dalam obrolan malam yang sarat makna. Tempat yang remeh di mata banyak orang itu menjadi saksi kelahiran cita-cita besar: membangun solidaritas santri lintas pesantren demi peradaban umat dan daerah.

Inilah bukti bahwa gagasan besar tidak selalu butuh panggung megah, cukup ruang hati yang lapang dan kemauan kuat untuk berpikir dan bergerak bersama. Ketika santri—yang biasanya diasosiasikan dengan kehidupan khusyuk dan terbatas pada bilik pesantren—berani menengok ke luar, merumuskan visi kebangsaan dan kemasyarakatan, maka disitulah semangat kesantrian menemukan bentuk aktualnya.

Santri dan Tantangan Zaman

Selama ini, santri kerap diposisikan sebagai simbol kesalehan personal—tunduk, patuh, dan menjauh dari hiruk pikuk kehidupan publik. Padahal sejarah Indonesia membuktikan, santri adalah elemen kunci dalam perjuangan kebangsaan, kemerdekaan, hingga pembangunan sosial. Namun, sayangnya, potensi besar itu sering kali tercerai berai, tidak terorganisir, dan lebih parahnya lagi, terkungkung oleh loyalitas sempit terhadap tokoh atau kelompok tertentu.

Hisbans hadir untuk membalikkan keadaan itu. Ia bukan hanya forum silaturahmi, melainkan menjadi wadah strategis untuk konsolidasi potensi dan kapasitas. Hisbans ingin menggeser orientasi santri dari sekadar simbol tradisi menuju subjek aktif dalam perubahan. Tidak cukup saleh secara personal, santri juga harus kritis, cerdas, dan kontributif.

Dengan melibatkan berbagai elemen—santri, akademisi, aktivis, hingga profesional—Hisbans berupaya menanamkan semangat berpikir jernih dan bertindak nyata. Mereka sadar, tantangan santri hari ini bukan hanya soal akidah atau fiqih, tetapi juga soal bagaimana memahami dunia, berjejaring, berinovasi, serta tetap memegang prinsip dalam kompleksitas zaman.

Mengorganisasi Kekuatan, Bukan Mengkultuskan Figur

Keunikan Hisbans terletak pada keberaniannya membangun organisasi yang berbasis nilai, bukan figur. Saat banyak lembaga keagamaan atau komunitas sosial terlalu berpusat pada sosok kharismatik, Hisbans justru menanamkan prinsip bahwa nilai harus lebih tinggi dari siapa pun. Tokoh boleh dihormati, tetapi tidak boleh menutupi atau bahkan menukar kebenaran.

Prinsip ini penting terutama di era digital sekarang, di mana opini tokoh seringkali dianggap sebagai “wahyu kedua”, tanpa ditimbang secara kritis. Ketegasan Hisbans dalam menjadikan kebenaran sebagai panglima, memberi arah baru: bahwa kader-kader Hisbans harus mandiri secara pemikiran, terbuka secara wawasan, dan berani menegakkan prinsip sekalipun bertentangan dengan arus dominan.

Menjawab Panggilan Sejarah

Sejak dideklarasikan secara resmi di Malingping pada 2021, Hisbans tidak hanya menjadi ruang nostalgia para alumni pesantren, tetapi juga menjadi kawah candradimuka bagi kaderisasi santri masa depan. Program-program yang disusun berorientasi pada tiga hal: penguatan ukhuwah santri lintas pesantren, peningkatan kapasitas intelektual dan spiritual, serta peningkatan sensitivitas sosial terhadap persoalan umat dan bangsa.

Hisbans juga menjadi bukti bahwa Banten Selatan bukan hanya daerah pinggiran secara geografis, tetapi juga pusat potensial peradaban Islam Nusantara. Ketika anak-anak kampung dari sudut-sudut pesantren mulai bersuara, menyusun langkah, dan menanamkan visi peradaban, maka itu bukanlah gerakan kecil—melainkan jawaban atas panggilan sejarah.

Penutup: Hisbans sebagai Warisan Jalan Lurus

Hisbans adalah refleksi penting bahwa dari kesederhanaan dapat tumbuh kekuatan besar, selama ada visi yang jernih dan keberanian menjaga prinsip. Ia bukan organisasi yang dibentuk karena agenda politik, tetapi tumbuh karena kegelisahan kolektif akan hilangnya ruh kesantrian yang sejati.

Dalam dunia yang semakin bising oleh hiruk-pikuk simbol dan ketokohan semu, Hisbans meneguhkan jalan: menjadi santri yang jujur kepada kebenaran, setia kepada nilai, dan berani menghadapi zaman tanpa kehilangan arah. Dan itu, mungkin, adalah teladan paling penting bagi gerakan keumatan hari ini.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments