
Tambang memang bisa membangun kota, tetapi sering meruntuhkan desa. Ia bisa memberi kemewahan, namun jarang memberi kedamaian jangka panjang. Sementara itu, hutan yang dijaga, air yang dipelihara, dan tanah yang subur justru memberi kehidupan yang tidak habis-habisnya.
narwala.id – Alam adalah anugerah terbesar yang diwariskan kepada umat manusia. Ia menyediakan air yang mengalir, udara yang bersih, tanah yang subur, dan hutan yang rimbun—semuanya menopang kehidupan dengan keseimbangan yang sempurna. Tanpa kita sadari, segala kebutuhan dasar manusia terpenuhi oleh kemurahan hati alam. Alam memberi tanpa pamrih, memberi kehidupan yang bisa dinikmati tidak hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi yang akan datang, jika dijaga dengan bijak.
Sebaliknya, tambang—yang menggali isi perut bumi demi emas, batubara, nikel, atau timah—sering kali hanya menawarkan kemewahan sesaat. Kekayaan alam yang diambil secara besar-besaran demi kepentingan industri dan keuntungan ekonomi jangka pendek sering meninggalkan luka yang dalam pada bumi. Hutan gundul, sungai tercemar, tanah longsor, hingga masyarakat adat yang terusir dari tanah leluhur mereka menjadi harga yang harus dibayar atas kemewahan tersebut.
Tambang bisa memperkaya segelintir orang, membangun gedung tinggi dan jalan mulus, namun dampak ekologisnya sering berlangsung jauh lebih lama dari manfaat ekonominya. Ketika tambang telah kering, yang tersisa hanyalah lubang menganga dan alam yang rusak. Kemewahan pun memudar, namun kerusakan terus membekas.
Sebaliknya, menjaga hutan, merawat sungai, dan melestarikan keanekaragaman hayati adalah investasi abadi. Alam yang sehat tidak hanya memberi pangan, sandang, dan papan, tetapi juga menyediakan udara bersih dan iklim yang stabil. Nilai kehidupan dari alam jauh lebih dalam dibandingkan tumpukan logam mulia atau mineral langka.
Belajar dari Suku Baduy
Di tengah derasnya arus modernisasi dan eksploitasi alam, masyarakat Baduy di pedalaman Banten memberi kita contoh nyata: jika alam dijaga, maka alam akan menjaga kita kembali. Mereka hidup tanpa listrik, tanpa kendaraan bermotor, dan tanpa merusak hutan. Namun, mereka tidak kekurangan. Air bersih mengalir dari pegunungan, hasil bumi cukup untuk menghidupi keluarga, dan hutan tetap lestari karena dirawat sebagai bagian dari kehidupan spiritual dan sosial.
Apa yang kita lihat pada masyarakat Baduy adalah bukti bahwa alam bisa memberi kehidupan abadi—bukan dalam arti tak akan mati, tapi dalam makna kehidupan yang terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Keseimbangan antara manusia dan alam dijaga dengan aturan adat yang ketat dan penuh makna.
Sayangi yang di Bumi, Maka yang di Langit Akan Memberkahi
Dalam setiap langkah kehidupan, manusia tidak pernah berjalan sendiri. Ia hidup di tengah ciptaan Tuhan yang luas—langit yang tinggi, bumi yang lapang, air yang mengalir, dan makhluk hidup yang bernafas. Semuanya terhubung dalam satu sistem yang diciptakan dengan penuh kasih sayang dan keseimbangan.
Ketika manusia menyayangi bumi, ia sedang menunjukkan rasa hormat pada ciptaan-Nya. Menjaga hutan, tidak merusak lingkungan, memperlakukan hewan dengan baik, serta hidup damai dengan sesama manusia—semua itu adalah bentuk cinta yang nyata terhadap bumi.
Dan saat bumi disayangi, yang di langit—Tuhan dan malaikat-Nya—tidak tinggal diam. Dalam ajaran banyak agama, termasuk Islam, terdapat janji ilahi: siapa yang mencintai sesama makhluk, akan dicintai pula oleh Penciptanya. Siapa yang menebar kasih di bumi, akan diturunkan keberkahan dari langit.
Berkah itu bisa hadir dalam banyak bentuk: hujan yang cukup, hasil panen yang melimpah, hidup yang tenteram, atau hati yang tenang. Semua itu bukan datang karena kekuatan manusia semata, melainkan karena rahmat yang turun dari langit kepada mereka yang hidup dengan kasih di bumi.
Di tengah dunia yang makin sibuk, mari kita kembali pada pesan sederhana namun dalam:
Rawat bumi, cintai sesama, jaga makhluk hidup—maka langit akan membuka pintu berkah.
Tambang memang bisa membangun kota, tetapi sering meruntuhkan desa. Ia bisa memberi kemewahan, namun jarang memberi kedamaian jangka panjang. Sementara itu, hutan yang dijaga, air yang dipelihara, dan tanah yang subur justru memberi kehidupan yang tidak habis-habisnya.
Tambang dan Ketimpangan Sosial: Kemewahan yang Tidak Merata
Sumber daya alam seperti emas, nikel, batu bara, dan minyak bumi sering disebut sebagai berkah bagi suatu wilayah. Namun ironisnya, di banyak daerah yang kaya tambang, justru yang terlihat adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial yang tajam. Mengapa hal ini bisa terjadi?
1. Kekayaan Alam Tidak Menjamin Kesejahteraan Lokal
Tambang menghasilkan triliunan rupiah bagi negara dan perusahaan, tetapi hanya sedikit yang dinikmati oleh masyarakat di sekitar lokasi tambang. Mereka tetap hidup dalam keterbatasan akses pendidikan, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur dasar. Ketika hasil kekayaan alam terpusat di tangan segelintir elit, terjadilah ketimpangan struktural: yang kaya makin kaya, yang miskin tetap tertinggal.
2. Lapangan Kerja Bersifat Sementara dan Eksploitatif
Salah satu alasan tambang sering diterima oleh masyarakat lokal adalah janji lapangan kerja. Namun kenyataannya, banyak pekerjaan tambang hanya bersifat jangka pendek dan tidak memberikan keterampilan jangka panjang. Ketergantungan pada tambang menciptakan kerentanan sosial ketika tambang tutup atau produksi menurun.
3. Dampak Lingkungan, Masyarakat yang Menanggung
Sementara perusahaan tambang menikmati keuntungan besar, masyarakat sekitar sering kali harus menanggung biaya sosial dan ekologis: air sungai tercemar, lahan pertanian rusak, udara tercemar, dan konflik sosial meningkat. Kerusakan ini memperburuk kualitas hidup masyarakat dan memperlebar jurang kesenjangan.
4. Ketimpangan Akses dan Keadilan Sosial
Di banyak kasus, suara masyarakat lokal diabaikan dalam proses perizinan tambang. Mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut tanah dan masa depan mereka sendiri. Ketimpangan kekuasaan dan akses terhadap keadilan menjadi masalah serius yang melanggengkan ketidaksetaraan.
Kesimpulan
Tambang memang bisa menjadi sumber pendapatan nasional. Tapi tanpa regulasi yang adil, transparansi, dan partisipasi masyarakat lokal, tambang justru memperdalam ketimpangan sosial. Sudah saatnya pendekatan terhadap pengelolaan sumber daya alam mengedepankan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan bersama—bukan sekadar keuntungan jangka pendek.
Kita harus belajar dari Baduy dan masyarakat adat lainnya: hidup selaras dengan alam bukan berarti mundur, tetapi justru bentuk paling bijak dari kemajuan. Karena alam yang dijaga akan terus memberi, sementara tambang yang dieksploitasi hanya memberi sejenak lalu pergi.

