Oleh: Agus Jubaedi

Arunika mengetuk jendela
Arunika datang perlahan, menyusup lewat celah jendela kayu yang sedikit renggang. Sinar mentari menari lembut di atas lantai, membentuk pola keemasan. Udara mengembuskan aroma tanah basah dan daun yang baru tersiram embun malam—hangat, damai, seolah waktu pun enggan berlari.
Burung-burung kecil bernyanyi di kejauhan, bersahutan dengan gemericik air dari selokan tua di samping rumah. Di sudut ruang yang hening, Narwa duduk bersila, tangannya sibuk menyortir buku-buku dan barang lama. Hari itu, ia hanya berniat merapikan gudang, tapi takdir menyelipkan sesuatu yang lebih besar di antara tumpukan debu dan kenangan.
Di balik kardus tua berlabel “tidak penting”, ia menemukan sesuatu yang kelak akan mengubah hidupnya. Sebuah kapsul logam, dingin di tangan, berat oleh isi yang belum ia mengerti.
Di pagi yang sederhana itu, di rumah tua yang akrab dengan sunyi, masa depan mulai mengetuk Jendela.
Pagi itu. Narwa baru saja lulus SMA. Semua orang sibuk membicarakan karier yang “menghasilkan”, bisnis digital, jadi influencer, atau investasi crypto. Sementara Narwa diam-diam punya mimpi yang berbeda: menjadi ilmuwan.
Ia sering ditertawakan. Teman-temannya berkata, “Di zaman ini, siapa yang masih butuh pendidikan tinggi?” Bahkan keluarganya pun ragu.
Masa dimana Ilmu tak lagi dianggap Penting
Di tengah dunia yang bergerak cepat dan terang oleh layar, manusia kini menunduk bukan lagi untuk berdoa, tapi untuk menatap layar ponsel yang tak pernah tidur. Suara notifikasi lebih dinanti daripada suara ibu memanggil makan. Dan di setiap sudut waktu, live TikTok bergulir tanpa henti—berisi wajah-wajah yang menari, berceloteh, atau hanya duduk diam, menunggu gift virtual seolah itu mata uang sejati dunia.
Belajar dianggap kuno. Buku disebut beban. Ilmu pengetahuan dicibir karena tak menjanjikan ribuan like dalam sehari. Generasi kini tak sabar pada proses, sebab viral bisa dicapai hanya dengan satu keberuntungan: aksi aneh, tangis palsu, atau sekadar jadi sensasi.
Mereka berkata, “Untuk apa kuliah bertahun-tahun kalau satu live bisa menghasilkan jutaan?”
Tapi lupa, bahwa kekayaan tanpa makna hanyalah angka yang rapuh.
Dan ketenaran tanpa isi adalah cahaya palsu yang cepat padam.
Di era ini, wawasan dianggap membosankan,
dan kebijaksanaan dikalahkan oleh algoritma.
Namun waktu selalu adil. Ia akan datang menagih.
Dan saat semua layar padam, hanya pengetahuan yang akan tetap menyala.
Ditengah rasa penasaran, Narwa teralihkan dengan sebuah tulisan
Untuk Narwa, jangan dibuka sebelum tahun 2025. Dari: Narwa – tahun 2050.
Dengan jantung berdebar, ia membuka kapsul itu. Di dalamnya terdapat lembaran holografik—surat yang bisa dibaca hanya dengan sinar UV dari senter khusus. Dan saat Narwa menyinarinya, tulisan itu muncul:
Narwa,
Kamu belum mengenalku, tapi aku sangat mengenalmu. Aku adalah kamu—25 tahun dari sekarang.
Kalau kamu membaca ini, kamu sedang berada di persimpangan jalan. Kau mungkin mulai merasa bodoh karena lebih memilih belajar saat yang lain jadi viral dan kaya mendadak. Tapi dengar aku baik-baik: jangan berhenti belajar.
Dunia sedang mengarah ke tempat yang tidak kamu bayangkan. Tahun 2045, terjadi bencana global: collapse sistemik. Mata uang hancur, sistem digital ambruk. Kekacauan menyelimuti dunia. Uang tak lagi berarti.
Dan saat semua runtuh, hanya satu hal yang dibutuhkan dunia: ilmu pengetahuan.
Saat itulah dunia mencari ilmuwan, peneliti, pemikir. Bukan pebisnis. Bukan influencer. Bukan jutawan. Tapi orang-orang yang bisa menciptakan solusi nyata.
Dan kamu, Narwa… kamu akan menjadi salah satu dari mereka.
Kamu akan menemukan vaksin melawan penyakit yang belum ada hari ini. Kamu akan memimpin tim yang membangun sistem energi baru yang menyelamatkan jutaan orang. Kamu akan dimintai nasihat oleh para pemimpin dunia.
Tapi hanya jika kamu tidak menyerah hari ini.
Teruslah belajar. Bacalah buku-buku yang dianggap “nggak berguna”. Tanyakan hal-hal yang belum ada jawabannya. Dan yang paling penting: percaya pada idealismemu.
Pendidikan itu bukan tua dan usang. Pendidikan adalah api yang akan menyalakan kembali dunia yang padam.
Sampai jumpa,
Narwa – 2050
Dunia yang Berubah
Tahun demi tahun berlalu. Narwa mengikuti kata hatinya. Ia kuliah di bidang bioinformatika, lalu melanjutkan ke bidang energi terbarukan. Ia hidup sederhana, sering dianggap “kuno” karena masih mengandalkan buku, perpustakaan, dan eksperimen nyata.
Tahun 2045, tepat seperti yang disebut dalam surat itu, musibah datang. Sebuah virus hasil mutasi AI lepas kendali, menyebar lewat jaringan digital dan menghancurkan sistem global: data hilang, ekonomi kolaps, pemerintahan lumpuh.
Saat semua orang panik, Narwa tetap tenang.
Ia telah bersiap. Ia dan rekan-rekannya yang selama ini dianggap “terlalu akademis”, kini menjadi garda depan dunia. Mereka membangun ulang jaringan komunikasi non-digital. Mereka menemukan cara memurnikan air dan menghasilkan listrik dari sampah organik.
Dan benar—Narwa menciptakan enzim biologis yang bisa memutus rantai infeksi virus. Karya itu menyelamatkan peradaban.
Kini, semua orang menatapnya penuh harap. Ia bukan hanya ilmuwan—ia simbol dari keyakinan bahwa pendidikan adalah harapan terakhir manusia.
Epilog – Surat untuk Generasi Baru
Tahun 2050. Narwa berdiri di depan sebuah sekolah yang baru dibangun, bukan dengan layar digital, tapi dengan papan tulis dan buku-buku fisik. Ia menulis surat untuk dimasukkan ke dalam kapsul.
Untuk kamu yang mungkin sedang ragu.
Jangan pernah remehkan belajar.
Dunia bisa berubah, tapi ilmu pengetahuan selalu menemukan jalannya.
Pendidikan adalah fondasi terakhir yang akan tetap berdiri, bahkan ketika segalanya runtuh.
Jangan jadi populer—jadilah berguna.
Dari: Narwa, yang pernah memilih jalan sepi, tapi benar.