Oleh: Revi Rizali, Penulis adalah pengurus DPD HIMMA Kab. Lebak dan peneliti Badan RIset dan Inovasi Mathla’ul Anwar / BRIMA

narwala.id – Dalam sejarah bangsa-bangsa tertindas, pemuda sering digambarkan sebagai obor yang menerangi jalan perubahan. Namun kini, dalam banyak kasus, pemuda justru menjadi pembawa lilin untuk menyinari singgasana kekuasaan tiran. Mereka tak lagi menjadi penggugat, melainkan pelayan. Tak lagi menantang kekuasaan, melainkan mencium tangan kekuasaan. Fenomena ini bukan sekadar kelalaian moral atau penyimpangan ideologis, tapi bagian dari mekanisme kolonialisme baru, sebagaimana dikatakan Frantz Fanon “The colonized is elevated above his jungle status in proportion to his adoption of the mother country’s cultural standards.”
Pemuda yang menunduk kepada kekuasaan
Pemuda yang menunduk kepada kekuasaan tiran sejatinya mengadopsi logika penjajah, merasa modern dan sukses karena menjadi bagian dari sistem yang telah merampas kedaulatan, martabat, harga diri, dan masa depan rakyat kecil.
Fanon menyebut elite pribumi yang berkolaborasi dengan kekuasaan kolonial sebagai ‘comprador class’. Dalam konteks kini, pemuda yang “bertransisi” dari oposisi ke jabatan dalam sistem yang korup dapat dimasukkan ke dalam kelas ini. Mereka tidak berjuang untuk rakyat, tapi untuk melestarikan posisi dan keuntungan kelas penguasa, bahkan ketika rakyat menderita. Mereka bukan sekadar “hilang arah”, tetapi secara sadar menjual kesadaran dan melacurkan diri demi dekat dengan kekuasaan.
Herbert Marcuse dalam Repressive Tolerance menyebut bahwa sistem kapitalis dan otoriter modern tidak menindas secara kasar, melainkan membeli dan menoleransi perbedaan selama itu tidak mengancam stabilitas. Pemuda diundang masuk ke dalam sistem, diberi panggung, jabatan, dan narasi bahwa mereka “dilibatkan”. Padahal, semua itu hanyalah strategi menghancurkan potensi perlawanan dari dalam.“The tolerance which is the preservation of injustice is not virtue but servility.” Marcuse. Dengan demikian, pemuda yang menganggap dirinya “sedang bekerja dari dalam” adalah bentuk servilisme politis, bukan strategi perubahan.
Zygmunt Bauman dalam Consuming Life menyebut bahwa di zaman ini, identitas dibentuk bukan dari perjuangan, tetapi dari apa yang dikonsumsi dan dipamerkan. Pemuda yang menjilat kekuasaan bukan hanya kehilangan arah, tapi juga menikmati status sosial sebagai konsumen kekuasaan, akses, fasilitas, foto bersama pejabat, dan jabatan sebagai “aktivis” yang telah “berhasil”. Padahal mereka tidak memperjuangkan nilai, melainkan berburu validasi dari kekuasaan seperti influencer mencari panggung. Mereka adalah produk, bukan pelaku sejarah.
Dalam sejarah rakyat, pengkhianatan pemuda tidak pernah dimaafkan. Mereka yang menjilat kekuasaan, mengatasnamakan “stabilitas”, “partisipasi politik”, atau “strategi dari dalam”, akan dikenang sebagai kolaborator. Mereka bukan pejuang rakyat, tapi anjing peliharaan rezim yang diberi sisa tulang kekuasaan sambil menggeram kepada rakyat yang lapar.
Apa yang dibutuhkan hari ini bukan pemuda yang bangga masuk dalam sistem busuk, tetapi pemuda yang merusak sistem dari luar, dengan konsistensi ideologis dan keberanian moral. Setiap kolaborator harus disingkap. Sejarah tidak akan melupakan mereka yang memilih tunduk, karena mereka bukan bagian dari solusi, mereka adalah bagian dari masalah.
Singkirkan para pengkhianat
Singkirkan para pengkhianat itu dari sejarah! Bangun kembali gerakan yang lahir dari bawah, dari yang tidak diundang oleh pengguasa, tetapi diundang oleh sejarah untuk berjuang. Kita harus menyatakan dengan lantang: yang tunduk pada kekuasaan penindas, adalah musuh rakyat. Bangsa ini tidak butuh pemuda yang mendekat ke penguasa, tapi yang bangsa ini butuhkan adalah pemuda yang mengetuk pintu-pintu rumah rakyat miskin dan berkata: “Kita akan melawan bersama.”